Kamis, 14 Oktober 2010

ABSTRAK

ANDREAS ARTHUR. Analisa Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Pengembangan Karir Karyawan (Studi kasus PT. PLN (Persero) Sektor Tello) (Dibimbing oleh Muh. Idrus Taba dan Ria Mardiana).

            Penelitian ini bertujuan untuk : a) Melihat apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap pengembangan karir karyawan di PT. PLN (Persero) Sektor Tello?, b) Apa yang menjadi faktor dominan budaya organisasi yang mempengaruhi pengembangan karir karyawan?
Metode analisis yangdigunakan adalah metode analisis deskriptif dan analisa regresi linier berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1) budaya organisasi mempunyai pengaruh terhadap pengembangan karir karyawan. Hal ini dapat dilihat dengan menggunakan parameter-parameter berupa asumsi-asumsi dasar yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk menilai budaya suatu organisasi, 2) hakikat universalise/partikularisme yang berkaitan dengan bagaimana memandang atau memperlakukan karyawan dengan kriteria sama atau berbeda merupakan variabel budaya organisasi yang paling dominan mempengaruhi pengembangan karir karyawan dan jika hakikat ini cenderung universalime maka pengembangan karir karyawan akan berjalan dengan baik, 3) nilai-nilai yang terkandung dalam budaya dominan organisasi sangat terpengaruh oleh subdominan budaya yang terbentuk pada unit-unit organisasi, sehingga terkadang nilai-nilai tersebut mengalami kekosongan, ketertinggalan, keterhilangan dan keterkaburan nilai, 4) proses asimilasi budaya dominan dan budaya subdominan dalam organisasi akan berjalan dengan baik jika proses difusi budaya dilaksanakan dengan baik dan proses internalisasi nilai juga harus dilakukan secara kuantitatif dan kulitatif, serta mencakup berbagai sistem nilai dan, 5) model hasil regresi yang dihasilkan untuk melihat pengaruh budaya organisasi terhadap pengembangan karir paling baik digunakan karena koefisien determinasinya (R2) berada pada nilai diatas 40 %, serta mempunyai kemampuan dalam menjelaskan variasi naik turunnya variabel dependen lebih banyak dibanding model lain.  

BAB I
PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, seyogyanya dikuasai oleh BUMN. Dengan adanya BUMN diharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi BUMN. Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal. Penciptaan lapangan kerja dicapai melalui perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal dapat dicapai dengan jalan mengikut-sertakan masyarakat sebagai mitra kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan usaha kecil, menengah dan operasi yang berada di sekitar lokasi BUMN. Namun dalam kurun waktu 50 tahun semenjak BUMN dibentuk, BUMN secara umum belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Perolehan laba yang dihasilkan masih sangat rendah. Sebagai contoh, pada tahun 2000 BUMN memiliki total asset sebesar Rp. 861,52 trilyun hanya mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 13,34 Trilyun, atau dengan tingkat Return on Assets (ROA) sebesar 1,55%.
Data tahun 2000 menunjukkan bahwa hanya 78,10% (107 perusahaan) BUMN yang beroperasi dalam keadaan sehat. Sedangkan sisanya, 16,06% (22 perusahaan) dalam kondisi kurang sehat, dan 5,84% (8 perusahaan) dalam keadaan tidak sehat. Agar dapat menjalankan fungsinya, BUMN yang ada dalam kondisi kurang sehat dan tidak sehat perlu dibantu oleh pemerintah, dalam bentuk penyertaan modal pemerintah. Sementara itu, saat ini Pemerintah Indonesia masih harus berjuang untuk melepaskan diri dari belitan krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Berbagai upaya sebagaimana yang disarankan IMF telah dijalankan,misalnya perubahan format APBN dari T-Account menjadi I-Account, yang memungkinkan adanya defisit pada APBN. Dengan format baru tersebut, jelas terlihat bahwa sejak tahun 2000 APBN Indonesia mengalami defisit anggaran. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah untuk menutup defisit anggaran tersebut adalah melakukan privatisasi BUMN. Namun demikian, privatisasi BUMN telah mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat karena terus merugi. Sementara itu, ada sebagian masyarakat berpikir secara realistis. Mereka berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting BUMN tersebut dapat mendatangkan manfaat yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia.



A.   Latar Belakang

Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah suatu perusahaan negara yang pengelolaannya ditujukan untuk melayani masyarakat. Sebagai perusahaan pemerintah, PLN dapat dikategorikan sebagai perusahaan jasa kelistrikan yang mengandalkan kualitas pelayanan jasa yang diberikan pada masyarakat. PLN juga merupakan perusahaan yang memproduksi listrik melalui Unit-unit pembangkitnya.
Sebagaimana sebuah perusahaan negara, PLN banyak mendapatkan sorotan dari berbagai pihak mengenai efektivitas kerja dalam organisasi dan kualitas layanan yang diberikan. Oleh karena itu peningkatan kualitas dan efektivitas kerja menjadi sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar tingkat efektivitas organisasi dalam melaksanakan fungsinya. Sebuah organisasi akan dapat bertahan hidup dan akan dapat berkembang apabila mampu beroperasi secara efektif.
Tuntutan yang dihadapi PT. PLN (persero) sebagai salah satu BUMN adalah tekanan untuk meningkatkan kesejahteraan stakeholder-nya, baik itu pemerintah, manajemen, kustomer, supplier, distributor dan sebagainya. Bentuk kongkritnya adalah regulation & political pressure, PT. PLN (Persero) dituntut memberikan pelayanan terbaik dengan biaya atau subsidi yang seminimal mungkin. Social pressure, PT. PLN (Persero) menghadapi tekanan yang semakin besar bagi masyarakat untuk menghasilkan produk yang sangat murah dan berkualitas tinggi. Untuk itu mekanisme penetapan harga dan subsidi sangat penting.
Secara internal PT. PLN (Persero) dituntut untuk ekonomis dan efisien agar menjadi entitas bisnis yang tangguh dan profesional sehingga memiliki daya saing secara global. Fokus yang harus diperhatikan oleh PT. PLN (Persero) adalah economy, efficiency, effectiveness, equity and performance. Dengan kondisi seperti ini, peranan PT.PLN (Persero) dapat berfungsi sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pengembanan ekonomi daerah (engine of growth dan sebagai center of economic activity).
Budaya organisasi merupakan pemegang peran penting dalam pencapaian target perusahaan. Budaya baru yang dikembangkan perusahaan telah ditetapkan PT. PLN (Persero) melalui pedoman perilaku (code of conduct) menjelaskan bagaimana hubungan yang seharusnya terjadi antara atasan terhadap bawahan, bawahan terhadap atasan dan juga hubungan dengan rekan kerja. Didalam buku yang ditetapkan oleh Kantor Pusat PT. PLN (Persero) tersebut juga sudah menerangkan Visi PT. PLN (Persero) yaitu diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang, ungul dan terpercaya dengan bertumbuh pada potensi insani. Dari pengertian visi ini dapat dilihat adanya kebutuhan akan pengembangan potensi yang harus dimiliki oleh setiap karyawan, sehingga karyawan dapat membawa perusahaan terus berkembang juga unggul dalam bidangnya. Pengembangan potensi individu ini sangat bergantung kepada bagaimana perusahaan membentuk pengembangan karir pegawai, dan hal ini sangat berpengaruh pada budaya perusahaan. Didalam buku code of conduct tersebut juga dijelaskan nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar terbentuknya budaya perusahaan. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah saling percaya, integritas, peduli dan pembelajar. Jika nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dengan baik dalam perusahaan maka pengembangan potensi individu tersebut akan menjadi lebih baik. Nilai saling percaya mendorong suasana kerja yang kondusif antara atasan dan bawahan. Nilai integritas akan membawa kerjasama dalam suasana kompetisi yang baik. Sedangkan nilai kepedulian akan membawa semua karyawan, baik itu bawahan ataupun atasan untuk saling peduli. Dimana bawahan peduli akan rencana dan target yang dimiliki oleh atasan dan atasan juga peduli terhadap kebutuhan bawahan, antara lain terhadap pengembangan karir mereka. Nilai pembelajar merupakan nilai yang sangat berpengaruh secara siginifikan terhadap pengembangan potensi individu. Jika karyawan memiliki tingkat nilai pembelajar yang tinggi maka akan semakin mudah untuk meningkatkan kemampuan mereka. Tingkat nilai pembelajar ini juga sangat berpengaruh terhadap pengembangan karir mereka, dimana setiap karyawan akan menilai dan meningkatkan potensi dirinya sebelum menentukan rencana karir mereka.
Budaya yang ada dalam buku code of conduct merupakan budaya dominan yang merupakan panduan perilaku dari para karyawan sehari-harinya. Budaya dominan merupakan kepribadian organisasi secara keseluruhan yang membedakan PT.PLN (Persero) terhadap perusahaan lainnya. Budaya dominant ini akan dipengaruhi oleh kultur-kultur lain yang tumbuh didalam organisasi, yang secara spesifik ditumbuhkan oleh perbedaaan geografis dimana unit-unit PT. PLN (Persero) berada. Budaya yang telah dipengaruhi ini akan membentuk suatu budaya lemah (weak culture) yang menjadi suatu sub budaya baru. Pengaruh sub budaya ini justru lebih sering dipengaruhi budaya lama yang sudah ada sebelumnya pada unit-unit perusahaan tersebut berada. PT. PLN (Persero) Sektor Tello. Sektor Tello merupakan sub unit yang berada di Makassar, dimana pengaruh budaya lokal juga mempengaruhi Dominant Culture yang telah dibuat oleh Kantor Pusat PT. PLN (Persero) dan membentuk suatu subculture. Pengaruh budaya ini antara lain adalah masih terlihat dengan jelas bagaimana keterikatan keluarga yang masih kental. Pengaruh sub budaya ini juga sangat mempengaruhi pembentukan pengembangan karir karyawan. Dimana kedekatan akan karyawan yang memiliki hubungan keluarga dekat lebih diperhatikan dibandingkan yang tidak memiliki hubungan sama sekali. Pembentukan sub budaya ini semakin kuat ketika agen perubahan budaya (top management) unit juga masih menggunakan budaya setempat. Pembahasan thesis ini akan menganalisa budaya dominan perusahaan yang telah dipengaruhi sub budaya di Sektor Tello, dimana dilihat bagaimana budaya organisasi yang terbentuk tersebut mempengaruhi pengembangan karir.
Sumber daya yang terpenting pada organisasi adalah sumber daya manusia, karena bagaimanapun baiknya organisasi, lengkap sarana dan fasilitas kerja, semuanya tidak akan mempunyai arti penting tanpa manusia yang mengatur, menggunakan dan memeliharanya. Oleh karena pentingnya kedudukan sumber daya manusia dalam mendukung keberhasilan perusahaan ataupun organisasi dalam mencapai tujuannya, maka pengeluaran perusahaan untuk menarik, mengembagkan dan mempertahankan karyawan bukan lagi dianggap sebagai biaya, tetapi investasi. Karyawan adalah asset perusaaan yang harus selalu ditingkatkan kualitasnya, yang nantinya akan berpengaruh pada produktivitas dan profibilitas perusahaan jangka panjang.
Dalam pemikiran bahwa sumber daya manusia memiliki kedudukan yang semakin penting maka pengelolaan sumber daya ini memerlukan perhatian khusus agar organisasi dapat mencapai tujuannya terutama dalam menghadapi lingkungan bisnis yang semakin kompetitif. PT. PLN (Persero) sebagai salah satu BUMN harus meningkatkan kualitas sumber daya manusianya untuk meningkatkan efesiensi, efektivitas dan performance-nya. Perubahan yang terjadi dalam tubuh PT. PLN (Persero) mendorong pencapaian visi PT. PLN (Persero) yaitu diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang, unggul dan terpercaya dengan bertumbuh pada potensi insani. Nilai-nilai yang muncul dan diakui sebagai pedoman dalam perilaku karyawan PT. PLN (Persero) adalah saling, percaya, integritas, peduli dan pembelajar. Melalui nilai-nilai tersebut maka diharapkan PT. PLN (Persero) dapat memberikan pelayanan jasa ketenagalistrikan yang terbaik dan memenuhi standart ketenaga listrikan yang dapat diterima dunia internasional dan mewujudkan hal itu dengan bertumpu pada kapabilitas seluruh warganya. Nilai-nilai yang diakui tersebut menjadi akar dari budaya organisasi PT. PLN (Persero) Sektor Tello. Pada dasarnya Indikator yang menjadi karakterisitik adanya budaya organisasi adalah: insiatif individual, toleransi terhadap resiko, arah integrasi, dukungan manajemen, kontrol, identitas, sistem imbalan, toleransi terhadap konflik dan pola-pola komunikasi. Budaya organisasi melalui indikator-indikator tersebut yang akan menunjukkan apakah budaya organisasi tersebut memberi pengaruh terhadap motivasi kerja karyawan melalui metode pengembangan karir karyawan. Penelitian ini akan menganalisa hubungan antara budaya yang terjadi terhadap pengembangan karir karyawan.



  1. Rumusan Masalah

Menurut Sekaran (2003), penelitian dilakukan untuk dua tujuan berbeda yaitu :
1.         Untuk memecahkan masalah mutahir yang dihadapi oleh manager dalam konteks pekerjaan yang menuntut solusi tepat waktu dalam hal ini disebut Penelitian Terapan (Applied Research)
2.         Untuk menghasilkan pokok pengetahuan dengan berusaha memahami/untuk meningkatkan pemahaman terhadap masalah tertentu dan mencari metode untuk memecahkanya dan bagaimana masalah tertentu yang terjadi dalam organisasi dapat di selesaikan, disebut penelitian dasar (Basic Research). Penemuan dari penelitian semacam itu berkontribusi terhadap pengembangan pengetahuan dalam berbagai bidang fungsional bisnis.
            Selanjutnya Sekaran (2003) Menyatakan bahwa : “Masalah dapat berupa minat terhadap persoalan dan dan menemukan jawaban yang tepat yang mungkin dapat menolong meningkatkan situasi saat ini, yang bermanfaat untuk mendefinisikan masalah sebagai situasi dimana terdapat celah / gap antara keadaan actual dan keadaan ideal yang di harapkan (define problem as any situation where a gap exists between the actual and the desired ideal status) . Sedangkan defenisi masalah (problem definition or problem stratement) adalah :”Pernyataan dari pertanyaan yang jelas, tepat dan ringkas atau persoalan yang diinvestigasi untuk menemukan jawaban atau solusi “. Maka berdasarkan dari defenisi di atas, masalah bisa berkaitan dengan :
1.         Masalah saat ini, dimana manajer mencari sebuah solusi. (Penelitian Terapan/Applied research).
2.         Situasi yang mungkin bukan merupakan masalah apapun saat ini, tetapi oleh manager dianggap / dirasa ada peluang untuk peningkatan. (Penelitian Terapan/Applied Research)
3.         Bidang dimana sejumlah kejelasan konsep diperlukan untuk penyusunan teori yang baik. (penelitian dasar /basic Research /Pure research)
4.         Situasi dimana seorang peneliti mencoba menjawab sebuah pertanyaan penelitian secara empiris karena berminat terhadap topic tersebuit.(Penelitian Dasar/Basic Research)
Bertolak dari uraian diatas, maka penelitian ini merupakan penelitian terapan (Applied Research) dan berusaha untuk mengkaji masalah perubahan budaya organisasi yang berimplikasinya terhadap kinerja dan perkembangan karir karyawan.
            Berdasarkan hasil identifikasi masalah seperti yang telah diuraikan diatas, maka ditetapkan judul penilitian adalah sebagai berikut : Analisa pengaruh budaya organisasi terhadap pengembangan karir karyawan dan hubungannya terhadap motivasi kerja.
Dengan penetapan judul penelitian tersebut, maka rumusan masalah dijabarkan sebagai berikut :
1.         Apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap pengembangan karir
karyawan di PT. PLN (Persero) Sektor Tello?
2.         Apa yang menjadi faktor dominan budaya organisasi yang mempengaruhi
pengembangan karir karyawan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.         Menguji pengaruh budaya organisasi terhadap pengembangan karir
karyawan.
b.         Menganalisa faktor Budaya Organisasi yang memberi pengaruh dominan terhadap Pengembangan Karir.

D.   Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kebijkasanaan organisasi dalam meningkatkan kinerja karyawan. Juga dapat bermanfaat bagi pertimbangan pembentukkan metode pengembangan karir karyawan. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukkan bagi peneliti lain dalam bidang lain pula yang belum sempat diteliti baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Swasta maupun instansi pemerintah dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai ahan pertimbangan bagi strategi kebijakannya.


E.  Definisi dan Istilah

1.         BUMN : Singkatan dari Badan Usaha Milik Negara.
2.         Regulation dan Political pressure : Peraturan perundang-undangan dan
tekanan politik yang ada dimana perusahaan itu berdomisili.
3.         Social pressure : Intervensi dalam wujud tekanan yang berasal dari masyarakat umum terhadap suatu perusahaan.
4.         Efficiency : Tingkat efisien suatu perusahaan dalam menjalankan operasionalnya.
5.         Efektiveness : Tingkat efektif suatu perusahaan dalam menjalankan operasionalnya.
6.         Performance : Tingkat kinerja yang dicapai oleh suatu perusahaan.
7.         Engine of growth: Peran perusahaan yang berperan sebagai pemacu pertumbuhan suatu daerah.
8.         Center of economic activity: Fungsi perusahaan sebagai pendukung utama kegiatan ekonomi.
9.         Individualisme : Sifat dimana individu lebih mementingkan kepentingan dirinya atau keluarga dekatnya.
10.       Kolektivisme : Sifat dimana individu mementingkan kepentingan bersama yang merupakan perwujudan dari terajut ketatnya kerangka sosial masyarakat atau kelompok dimana individu itu berada.
11.       Artifak : Kasat mata, atau dapat dilihat menggunakan panca indera.
12.       Taken for granted: Sesuatu yang telah diterima begitu saja dalam suatu kumpulan masyarakat.
13.       Inovatif : Hal baru yang dapat berguna bagi perusahaan.
14.       Interpedensi : Kebebasan yang dimiliki oleh suatu individu.
15.       Otokrasi : Organisasi yang dipegang penuh oleh satu orang saja, dan pemegang keputusaan penuh.
16.       Paternalisme : Sistem kepemimpinan yang yang dianalogikan seperti hubungan antara bapak dan anak.
17.       Kolegalitas : Tanggung jawab oleh bersama atau kelompok teman sejawat.
18.       Siklikal : Waktu yang diartikan sesuatu yang terus berulang.
19.       Intensity: Peningkatan secara intensif
20.       Protean career : Karir yang didorong oleh keinginan individu dan bukan berasal organisasi.
21.       SEKTOR : Unit perusahaan yang berada dibawah kordinasi wilayah dan berkonsentrasi dalam bagian pembangkitan atau bagian yang memproduksi tenaga listrik.
22.       Dominant Culture : Kepribadian organisasi secara keseluruhan yang membedakan dengan organisasi lain
23.       Sub Culture : Budaya organisasi yang terbetuk karena pengaruh budaya setempat.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi sejak awal mula dan memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi. Bagaimanapun juga, baru-baru ini saja konsep budaya timbul ke permukaan sebagai suatu dimensi utama dalam memahami perilaku organisasi (Hofstede 1986). Schein (1984) mengungkapkan bahwa banyak karya akhir-akhir ini berpendapat tentang peran kunci budaya organisasi untuk mencapai keunggulan organisasi. Mengingat keberadaan budaya organisasi mulai diakui arti pentingnya, maka telaah terhadap konsep ini perlu dilakukan terutama atas berbagai isi yang dikandungnya.

  1. Budaya Organisasi
Banyaknya definisi tentang budaya organisasi diajukan oleh para pakar seperti halnya Robbins (1996) yang telah mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu "Persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu dan menjadi suatu sistem dari makna bersama." Sementara itu, Schein (1991) memilih definisi yang dapat menjelaskan bagaimana budaya berkembang, bagaimana budaya itu menjadi seperti sekarang ini, atau bagaimana budaya dapat diubah jika kelangsungan hidup organisasi sedang dipertaruhkan. Untuk itu diperlukan definisi yang dapat membantu memahami kekuatan-kekuatan evolusi dinamik yang mempengaruhi suatu budaya berkembang dan berubah. Schein akhirnya memberikan definisi yang lebih dapat diterima oleh berbagai pihak yaitu bahwa budaya organisasi merupakan :
"A pattern of basic assumptions that a given group has invented, discovered, or developed in learning to cope with its problems of external adaptation and internal integration, and that have worked well enough to be considered valid, and therefore, to perceive, think, and feel in relation to those problems."
Terdapat beberapa teori utama budaya organisasi yang telah meluas dikenal di kalangan teoritisi dan praktisi organisasi. Pertama adalah teori yang dikemukakan oleh Kluckhon-Strodtbeck (dalam Robbins 1996) yang mengemukakan enam dimensi budaya dasar. Masing-masing dimensi ini memiliki variasi yang membedakan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya.
            Dimensi pertama adalah hubungan dengan lingkungan yang memiliki variasi dominasi terhadap lingkungan, harmoni dengan lingkungan, dan tunduk atau didominasi oleh lingkungan. Dimensi kedua adalah orientasi waktu yang memiliki variasi tentang orientasi pada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dimensi ketiga adalah kodrat atau sifat dasar manusia yang bervariasi tentang pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu baik, atau buruk, atau campuran antara baik dan buruk. Dimensi keempat adalah orientasi kegiatan yang memiliki variasi adanya penekanan untuk melakukan tindakan, penekanan untuk menjadi atau mengalami sesuatu, dan penekanan pada upaya mengendalikan kegiatan. Dimensi kelima ialah fokus tanggung jawab yang mempunyai variasi individualistis, kelompok, atau hierarkis. Dimensi terakhir yaitu konsep ruang yang tumpuan variasinya terletak pada kepemilikan ruang yang terbagi pada variasi pribadi, publik atau umum, dan campuran antara keduanya.
Teori berikutnya diungkapkan oleh Hofstede (1980 dan 1984) setelah mempelajari budaya organisasi di berbagai negara yang akhirnya melahirkan empat dimensi budaya, yaitu: individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidak-pastian, dan tingkat maskulinitas. Individualisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut longgar dalam masyarakat dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri mereka sendiri dan keluarga dekatnya. Kolektivisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut ketat dimana individu dapat mengharapkan kerabat, suku, atau kelompok lainnya melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas mutlak. Isu utama dalam dimensi ini adalah derajat kesaling-tergantungan suatu masyarakat diantara anggota-anggotanya. Hal ini berkait dengan konsep diri masyarakat : "saya" atau "kami".
Jarak kekuasaan merupakan suatu ukuran dimana anggota dari suatu masyarakat menerima bahwa kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan secara merata. Hal ini mempengaruhi perilaku anggota masyarakat yang kurang berkuasa dan yang berkuasa. Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan besar menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang mempunyai suatu tempat yang tidak lagi memerlukan justifikasi. Orang-orang dalam masyarakat yang berjarak kekuasaan kecil menginginkan persamaan kekuasaan dan menuntut justifikasi atas perbedaan kekuasaan.
Isu utama atas dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat menangani perbedaan diantara penduduk ketika hal tersebut terjadi. Hal ini mempunyai konsekuensi jelas terhadap cara orang-orang membangun lembaga dan organisasi mereka (Hofstede 1983).
Penghindaran ketidakpastian merupakan tingkatan dimana anggota masyarakat merasa tak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Perasaan ini mengarahkan mereka untuk mempercayai kepastian yang menjanjikan dan untuk memelihara lembaga-lembaga yang melindungi penyesuaian. Masyarakat yang memiliki penghindaran ketidakpastian yang kuat menjaga kepercayaan dan perilaku yang ketat dan tidak toleran terhadap orang dan ide yang menyimpang. Masyarakat yang mempunyai penghindaran ketidakpastian yang lemah menjaga suasana yang lebih santai dimana praktek dianggap lebih dari prinsip dan penyimpangan lebih dapat ditoleransi. Isu utama dalam dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat bereaksi atas fakta yang datang hanya sekali dan masa depan yang tidak diketahui. Apakah ia mencoba mengendalikan masa depan atau membiarkannya berlalu. Seperti halnya jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian memiliki konsekuensi akan cara orang-orang mengembangkan lembaga dan organisasi mereka.
Maskulinitas berarti kecenderungan dalam masyarakat akan prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan keberhasilan material. lawannya, feminitas berarti kecenderungan akan hubungan, kesederhanaan, perhatian pada yang lemah, dan kualitas hidup. Isu utama pada dimensi ini adalah cara masyarakat mengalokasikan peran sosial atas perbedaan jenis kelamin. Semangat penelitian Hofstede (dalam Gibson & Ivanicevich & Donnely 1996) ini mengundang perkembangan telaah budaya organisasi yang semakin meluas di kalangan teoritisi organisasi dan manajemen. Namun demikian beberapa kritik tetap dilontarkan berkaitan dengan keterbatasan penelitian tersebut untuk digeneralisasikan, serta keraguan akan validitas dan reliabilitas instrumen penelitian yang dipergunakan. Selain itu, kritik terutama tertuju pada kemampuan empat dimensi tersebut menjelaskan budaya yang sesungguhnya sehingga dianggap kurang mampu menjelaskan fenomena budaya yang jauh lebih kompleks.
Hofstede juga mengasilkan suatu metodologi yang dapat mengidentifikasikan tiga tingkatan budaya:
(1)                          Artifacts, yaitu struktur atau proses organisasional yang dapat diamati tetapi sulit untuk ditafsirkan.
(2)                          Espoused Values, Suatu tingkatan budaya yang sudah menjadi tujuan, strategi atau filsafat.
(3)                          Basic Uderlaying Assumptions, Suatu tingkatan budaya yang sduah menjadi suatu kepercayaan, presepsi, perasaan dan sebagainya, yang menjadi sumber nilai dan tindakan.
Schein (dalam Hatch 1997) juga mengungkapkan bahwa budaya organisasi dapat ditemukan dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah artifak (artifacts) dimana budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak dapat diartikan. Tingkat kedua adalah nilai (values) yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak. Tingkat ketiga adalah asumsi dasar dimana budaya diterima begitu saja (taken for granted), tidak kasat mata, dan tidak disadari. Tingkat analisis artifak bersifat kasat mata yang dapat dilihat dari lingkungan fisik organisasi, arsitektur, teknologi, tata letak kantor, cara berpakaian, pola perilaku yang dapat dilihat atau didengar, serta dokumen-dokumen publik seperti anggaran dasar, materi orientasi karyawan, dan cerita. Analisis pada tingkat ini cukup rumit karena data mudah didapat tetapi sulit ditafsirkan. Dengan analisis ini dapat diuraikan bagaimana suatu kelompok menyusun lingkungannya dan apa pola perilaku yang dapat dilihat dari kalangan anggotanya, tetapi seringkali analisis ini tidak dapat memahami logika yang mendasarinya, mengapa suatu kelompok berperilaku seperti yang mereka lakukan.
Untuk menganalisis mengapa anggota berperilaku seperti yang mereka perlihatkan maka perlu diketahui nilai-nilai yang mengarahkan perilaku. Namun nilai sulit diamati secara langsung, oleh karena itu seringkali perlu untuk menyimpulkan mereka melalui wawancara dengan anggota-anggota kunci organisasi atau menganalisis kandungan artifak seperti dokumen dan anggaran dasar. Tetapi dalam mengidentifikasi nilai-nilai tersebut biasanya mereka menggambarkan secara akurat nilai-nilai yang didukung dalam budaya tersebut. Artinya, mereka difokuskan pada apa yang dikatakan orang sebagai alasan perilaku mereka. Apa yang secara ideal mereka harapkan merupakan alasan perilaku tersebut, dan yang seringkali merupakan rasionalisasi (baca : pembenaran) bagi perilaku mereka. Namun alasan mendasar bagi perilaku mereka tetap saja tersembunyi atau tidak disadari.
Untuk benar-benar memahami suatu budaya dan untuk lebih memastikan secara lengkap nilai-nilai dan perilaku nyata dari suatu kelompok, perlu diselidiki asumsi yang mendasarinya, yang biasanya tidak disadari, tetapi secara aktual menentukan bagaimana para anggota kelompok berpersepsi, berpikir, dan merasakan. Asumsi seperti ini dengan sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula sebagai nilai-nilai yang didukung (espoused value). Tetapi ketika nilai menyebabkan perilaku dan ketika perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai itu ditransformasi menjadi asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu sesungguhnya. Bila asumsi telah diterima begitu saja, maka kesadaran menjadi tersisih. Dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan atau tidak. Bila nilai tersebut diterima apa adanya (taken for granted) maka ia disebut sebagai asumsi, namun bila ia masih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih sesuai (Schein 1991).
Mengacu kepada tingkatan asumsi dasar untuk memahami budaya organisasi, Schein memberikan beberapa asumsi dasar yang membentuk budaya organisasi. Asumsi dasar ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk menilai budaya suatu organisasi.
Beberapa dimensi asumsi dasar tersebut adalah :
1.         Keterkaitan lingkungan organisasi. Aspek ini mengamati asumsi yang lebih mendasar tentang hubungan manusia dengan alam dan lingkungan. Dapat dinilai dengan bagaimana anggota-anggota kunci organisasi memandang hubungan tersebut. Terdapat tiga dimensi dari aspek ini. Pertama, tentang bagaimana mereka memandang peran organisasi dalam masyarakat yang mana hal ini dapat dilihat melalui jenis produk yang dihasilkan atau cara pelayanan yang diberikan, atau dimana pasar utamanya, atau segmentasi pelanggan yang dibidik. Kedua, tentang apa pandangan mereka terhadap lingkungan yang relevan dengan organisasi, apakah lingkungan ekonomi, politik, teknologi, sosial-budaya, atau yang lainnya. Ketiga, bagaimana pandangan mereka tentang posisi organisasi terhadap lingkungan, apakah organisasi mendominasi, atau didominasi oleh, atau seimbang dengan lingkungannya tersebut.
2.         Hakikat realitas dan kebenaran. Aspek ini menyangkut pandangan anggota-anggota organisasi tentang kaidah-kaidah linguistik dan keperilakuan yang menetapkan mana yang riil dan mana yang tidak, mana yang fakta, bagaimana kebenaran akhirnya ditentukan, dan apakah kebenaran diungkapkan atau ditemukan. Terdapat empat dimensi dari aspek ini. Pertama, realitas fisik yang menyangkut persoalan criteria obyektif atas fakta. Kedua, realitas sosial yang mempersoalkan konsensus atas opini, kebiasaan, dogma, dan prinsip. Ketiga, realitas subyektif yang mempersoalkan pengalaman subyektif atas pendapat, kecenderungan, dan cita rasa pribadi. Keempat, Mengenai kriteria kebenaran yang berarti bagaimana kebenaran itu seharusnya ditentukan, apakah oleh tradisi, dogma, moral atau agama, pendapat orang-orang bijak atau orang-orang yang berwenang, proses hukum, resolusi konflik, uji coba, atau pengujian ilmiah.
3.         Hakikat sifat manusia. Aspek ini menyangkut pandangan segenap anggota organisasi tentang apa yang dimaksud dengan manusia dan apa atribut-atribut yang dianggap intrinsik atau puncak? Terdapat dua dimensi dari aspek ini. Pertama, tentang sifat dasar manusia yaitu apakah manusia pada dasarnya bersifat baik, buruk, atau netral ? Kedua, mengenai perubahan sifat tersebut yaitu apakah sifat manusia itu tetap (tidak dapat berubah) ataukah dapat berubah dan disempurnakan ? Mana yang lebih baik misalnya antara teori X atau teori Y ?
4.         Hakikat kegiatan manusia. Aspek ini menyangkut pandangan semua anggota organisasi tentang hal-hal benar apa yang perlu dikerjakan oleh manusia atas dasar asumsi mengenai realitas, lingkungan, dan sifat manusia diatas, apakah ia harus aktif, pasif, pengembangan pribadi, fatalistik, atau yang lainnya? Apa yang dimaksud dengan kerja dan apa yang dimaksud dengan main? Dimensi utama dari aspek ini adalah sikap mental manusia terhadap lingkungan, yaitu apakah proaktif, reaktif, ataukah harmoni?
5.         Hakikat hubungan antar manusia. Aspek ini menyangkut pandangan manusia tentang apa yang dipandang sebagai cara yang benar bagi manusia untuk saling berhubungan, untuk mendistribusikan kekuasaan atau cinta? Apakah hidup ini kooperatif atau kompetitif; individualistik, kolaboratif kelompok atau komunal ? Yang jelas terdapat dua dimensi dari aspek ini. Pertama, struktur hubungan manusiawi yang memiliki alternatif linealitas, kolateralitas, atau individualitas. Kedua, struktur hubungan organisasi yang mempunyai variasi otokrasi, paternalisme, konsultasi, partisipasi, delegasi, kolegialitas.
Selanjutnya Schein menambahkan pula dua asumsi dasar lagi dalam karyanya tersebut sebagai sub dimensi hakikat realitas dan kebenaran. Dua asumsi tambahan ini adalah :
6.         Hakikat waktu. Aspek ini berkaitan dengan pandangan anggota organisasi tentang orientasi dasar waktu. Terdapat tiga dimensi dari aspek ini. Pertama, arahan focus yang menyangkut masa lalu, kini, dan masa mendatang. Kedua, konsep dasar waktu tentang apakah waktu itu bersifat linear (monokronik), atau polikronik, atau siklikal. Ketiga, tentang apakah ukuran waktu yang relevan yang berlaku dalam organisasi tersebut, yaitu apakah mempergunakan satuan detik, menit, jam, hari, minggu, bukan, tahun, dan seterusnya.
7.         Hakikat Ruang. Aspek ini berkaitan dengan pandangan anggota organisasi mengenai konsep ruang. Terdapat tiga dimensi dalam aspek ini. Pertama, ketersediaan ruang yang menyangkut apakah ruang itu tersedia, ataukah tersedia namun terbatas, ataukah terbatas dalam pandangan orang-orang tersebut. Kedua, penggunaan ruang sebagai simbol yang berkenaan dengan pandangan apakah ruang itu berfungsi sebagai status dan kekuasaan, atau untuk keakraban, atau berfungsi sangat pribadi. Ketiga, fungsi ruang sebagai norma 'jarak', yaitu jarak antara formal-informal , dan jarak antara sahabat-teman, serta jarak dalam pertemuan dan hubungan dengan orang luar.

Ada tiga pendekatan dalam organisasi yaitu: pendekatan klasik, Neoklasik, dan modern. Sedangkan budaya organisasi merupakan bagian dari pendekatan modern, dimana aspek lingkungan akan membawa pengaruh dari budaya organisasi. Pada lingkungan yang sederhana akan terlihat budaya organisasi yang sederhana pula. Organisasi memiliki suatu kepribadian seperti halnya individu. Kepribadian organisasi sama dengan budaya organisasi. Budaya organisasi adalah suatu sistem pengertian yang diterima secara bersama sedangkan karekteristik utamanya adalah inisiatif individual, tolerasni terhadap resiko, arah, integrasi, dukungan manajemen, kontrol, identitas, sistem imbalan, toleransi kepada konflik dan pola-pola komunikasi.
Hal tersebut disampaikan oleh Robbins, (1994:480) yang mengungkapkan bahwa budaya organisasi merupakan suatu perangkat nilai yang dianut bersama dan bersifat dominan dan koheren yang terungkap dalam bentuk simbolik, seperti cerita, mitos, legenda, slogan, lelucon dan dogeng. Defisini lain menegaskan, budaya organisasi merupakan pola dari asumsi dasar bentukkan, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok dalam proses mengatasi masalah-masalah external dan internal, artinya bahwa persoalan-persoalan dapatasi dan survival bersifat external sedangkan persoalan-persoalan organisasi bersifat internal.
Jadi budaya organisasi merupakan solusi yang secara konsisten dapat berjalan dengan baik bagi sebuah organisasi dalam persoalan-persoalan external dan internal sehingga menjadi pelajaran bagi setiap individu dalam organisasi sebagai suatu cara berfikir dan merasakan dalam hubungannya dengan masalah external survival. Yaitu bagaimana memahami misi dan startegi organisasi, tujuan organisasi dan sasaran-sasaran untuk memantau kemajuan organisasi melalui jaringan informasi. Juga masalah internal integrasi, yaitu bagaimana menggunakan bahasa yang sama, norma-norma yang berlaku, cara-cara mendelegasikan wewenag, pemberian penghargaan dan imbalan, serta cara-cara mengatasi persoalan yang tidak diramalkan sebelumnya.
Budaya organisasi menurut Denison (1990:2) mengartikan sebagai berikut: Budaya organisasi menunjukkan nilai-nilai kepercayaan dan prinsip-prinsip yang mendasari suatu sisitem manajemen organisasi sebagiamana halnya praktek-praktek menajemen dan perilaku yang mempertegas dan memperkuat prinsip-prinsip dasar tersebut.
Berbagai pengertian tersebut menyiratkan beberapa hal, pertama budaya organisasi berkaitan dengan nilai yang dianut oleh warga organisasi. Nilai-nilai tersebut menginspirasikan individu untuk menetukan tindakan dan perilaku yang dapat diterima. Kedua, nilai yang membentuk budaya oleh budaya organisasi sering sekali diterima begitu saja, tidak tertulis tapi merupakan hasil suatu kompromi bersama para individu organisasi. Ketiga, adanya atribut sebagai bahasa komunikasi untuk mentransfer nilai-nilai budaya. Atribut yang digunakan organisasi mengandung pesan atau makna yang dapat dipahami segenap anggota organisasi.
Uraian tersebut diatas, menggambarkan bahwa budaya organisasi merupakan solusi yang secara konsisten dapat berjalan dengan baik bagi sebuah organisasi dalam menghadapi persoalan-persoalan external dan internal sehingga menjadi pelajaran bagi setiap inidvidu dalam organisasi sebagai suatu cara berfikir dan merasakan hubungannya dalam masalah external. Selanjutnya bagaimana memahami misi dan strategi, tujuan organisasi, proses pengambilan keputusan, pengembangan struktur organisasi dan sarana-sarana untuk memantau kemajuan organisasi melalui jaringan informasi. Juga masalah internal integrasi, yaitu bagaimana menggunakan bahasa yang sama, norma-norma yang berlaku, cara-cara mengatasi persoalan yang tidak diramalkan sebelumnya.

  1. Karakteristik Budaya Organisasi

Budaya mengimplikasikan adanya dimensi atau karakteristik tertentu yang berhubungan secara erat dan interdependen. Dengan demikian dimensi bagi sebuah organisasi jelas harus mencolok yang dapat didefinisikan dan diukur. Robbins (1994:480) lebih lanjut menegaskan ada sepuluh karakteristik utama yang dapat menjadi ciri budaya organisasi, yaitu:
1.         Inisiatif individual, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan interdepedensi yang dipunyai individu.
2.         Toleransi terhadap tindakan yang beresiko, yaitu sejauh mana para anggota organisasi dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan mengambil resiko.
3.         Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menetapkan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi.
4.         Integrasi, yaitu sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkordinasi.
5.         Dukungan dari manajemen, yaitu sejauh mana para pemimpin memberi komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka.
6.         Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku anggota organisasi.
7.         Identitas, yaitu tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasikan dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan kelompok kerja tertentu atau dengan keahlian profesional.
8.         Sistem imbalan, yaitu sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan gaji atau promosi jabatan) didasarkan atas kriteria prestasi sebagai kebalikan dari senioritas, sikap pilih kasih dan sebagainya.
9.         Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauh mana para anggota organisasi didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka.
10.       Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh heararki kewenangan yang formal.

Sepuluh karakterisitik tersebut diatas mencakup dimensi struktural dan perilaku, misalnya pada point dukungan manajemen adalah untuk ukuran mengenai perilaku kepemimpinan. Kebanyakan dimensi tersebut berkaitan erat dengan desain organisasi. Untuk menggambarkannya makin rutin teknologi sebuah organisasi dan makin desentralisasi proses pengambilan keputusannya, maka makin kurang pula inisiatif individual para anggota organisasi tersebut. Demikian struktur fungsional menciptakan budaya yang mempunyai lebih banyak pola komunikasi formal dari pada struktur sederhana atau yang matriks.
Selain itu toleransi terhadap konflik juga merupakan dimensi perilaku. Sebagai mana jenis-jenis konflik yang disampaikan oleh Kasim (1993:58) yaitu terdiri dari konflik dalam diri pribadi, konflik antar pribadi, konflik dalam kelompok, konflik antar kelompok, konflik dalam organisasi dan konflik antar organisasi.

Beberapa penyebab konflik yaitu:
1.         Persaingan memperoleh sumber daya
2.         Tidak jelasnya wewenang dan tanggung jawab
3.         Hambatan komunikasi
4.         Kepribadian individu
5.         Ketergantungan tugas
6.         Masalah status

Budaya organisasi juga berpengaruh terhadap keefektifan organisasi sebagai contoh budaya yang kuat dicirikan dengan nilai organisasi yang juga kuat, diatur dengan baik, dirasakan secara luas. Budaya yang lemah dicirikan oleh organisasi yang masih muda dan belum berpengalaman. Keefektifan mensyaratkan bahwa budaya, strategi, lingkungan dan teknologi (organisasi) akan bersatu. Budaya organisasi akan dibentuk sesuai dengan strategi dan lingkungannya. Strategi yang didorong oleh pasar akan lebih sesuai dilingkungan yang dinamis dan membutuhkan budaya yang menekan inisiatif individual, pengambil resiko, integrasi yang tinggi, toleransi terhadap konflik, dan komunikasi horisontal yang tinggi. Budaya organisasi tersebut akan diperoleh melalui kecocokan external sedangkan yang melalui kecocokan internal yaitu budaya yang dicocokan dengan teknologi yang mereka miliki.
Budaya organisasi dapat dipertahankan kelangsungannya dengan cara memberikan sejumlah pengalaman kepada sesama pegawai. Ada 3 kekuatan yang dapat mempertahankan adanya budaya organisasi, yaitu praktek seleksi organisasi, tindakan manajemen puncak serta metode sosialisasi organisasi.
Organisasi mempunyai kepribadian seperti halnya dengan individu. Menurut Robbins (1994:505) menyebut kepribadian tersebut sebagai budaya organisasi. Budaya mengimplikasikan adanya dimensi karakteristik tertentu yang berkaitan secara erat dengan interdepedensi. Dengan demikian dimesi bagi seluruh organisasi jelas harus mencolok yang dapat didefinisikan dan diukur. Oleh karena itu Robbins lebih lanjut menjelaskan ada sepuluh karakteristik yang sudah disebutkan sebelumnya.
Menurut Ndhara (1997:23) dalam bukunya ”Budaya Organisasi” bahwa organisasi dapat dikatakan kuat apabila dapat diukur dalam tiga dimensi, yaitu: Intensity (I), Clarity (C) dan Extensity (E). Jika tiap dimensi diberi skala rendah (R), Sedang (S) dan Tinggi (T), dan masing-masing dikombinasikan dengan tiap skala, terjadi tujuh kualifikasi:
Tabel 2.1
Pengukuran Budaya Organisasi Kuat
GROUP
KUALIFIKASI
I
II
III
IV
V
VI
VII
DIMENSI
I
T
T
T
S
S
S
R
C
T
T
S
S
S
R
R
E
T
S
S
S
R
R
R
KUALIFIKASI
SK
K
AK
S
AL
L
SL

Ket:
SK : Sangat Kuat                                AL:      Agak Lemah
K         : Kuat                                      L :        Lemah
AK      : Agak Kuat                            SL :     Sangat Lemah
S          : Sedang

Budaya organisasi dibentuk dari philosofi organisasi dan nilai-nilai yang dianut oleh sumber daya manusia didalam organisasi, akan tetapi peran dari pimpinan atau top manajemen sengat besar dalam pembentukan budaya organisasi, bahkan Robbin (1994:486) menyatakan tingkat keberhasilan dari usaha-usaha yang telah dilakukan senantiasa merujuk kesumber utama dari sebuah budaya organisasi.
Disamping itu untuk memberikan dukungan kepada sumberdaya manusia didalam usaha memahami organizational culture perlu diketahui bagaiman organizational culture itu dibentuk. Adapun perlunya dibentuk tim seleksi didalam hal ini agar kriteria-kriteria yang ada (presepsi, asumsi, nilai) tidak dipilih secara sembarangan/subjektif melainkan melalui proses penyaringan dahulu dari beberapa sumber yang ada pada sumber daya manusia. Setelah ditemukan dan ditentukan dari butir-butir yang penting sebagai budaya yang akan dijadikan budaya organisasi, maka pimpinan akan menentukan mana budaya yang cocok untuk dijalankan dan mana yang tidak relevan untuk dijalankan.
Demikian halnya kita melihat pada proses sosialisasi terhadap sumber daya manusia, yaitu bagaimana usaha organisasi dalam membantu anggota baru menyesuaikan diri dengan budaya yang ada, hal ini sangat bergantung pada dua hal, yaksi sebagai berikut:
• Derajat keberhasilan mendapatkan kesesuaian dari nilai-nilai yang dimiliki oleh karyawan baru terhadap organisasi.
• Metode sosialisasi yang dipilih oleh pimpinan dalam mengimplementasikannya.
Oleh karena itu organisasi harus mampu mengajak karyawan baru melakukan penyesuaian dengan budaya organisasi yang menjadi pedoman didalam pencapaian produktivitas. Disamping itu organisasi harus mampu melakukan sosialisasi terhadap sumber daya manusia agar hasil dari proses sosialisasi tersebut akan mempunyai dampak terhadap pengembangan karir, komitmen karyawan dan turn over dari sumber daya yang sudah ada. Unsur-unsur budaya organisasi yang digali dari sumber-sumber organisasi itu sendiri, yang juga sering dipengaruhi oleh unsur-unsur luar harus dianalisa secara mendalam.
Terdapat beberapa sistematis untuk menggali unsur-unsur budaya organisasi:
1. Mempelajari Tata Letak Fisik Ruangan / Gedung.
2. Mengamati pernyataan organisasi tentang budaya organisasi yang mereka akui.
3.Melakukan test pengamatan dan mengamati kejadian-kejadian dalam perusahaan.
4. Melakukan interview dengan perusahaan mengenai:
- Sejarah berdirinya organisasi
- Usaha apa yang mula-mula dilakukan
- Mengapa organisasi dapat mencapai kesuksesan usaha
- Sumber Daya Manusia yang bagaimana yang bekerja diorganisasi ini.
Organisasi memiliki keseragaman budaya, dan budaya organisasi mewakili presepsi umum yang dianut oleh organisasi, yang secara explisit merupakan hasil dari pendefinisian dari berbagai pengertian yang dianut, dimana setiap anggota organisasi memberi kontribusi terhadap keberadaan budaya yang ada. Karena organisasi terbentuk dari berbagai anggota yang berbeda latar belakang dan level organisasi maka terbentuklah dua tipe budaya yaitu Dominant Culture dan Subdominant culture didalam suatu organisasi.
Dominant Culture merupakan kepribadian organisasi secara keseluruhan yang membedakan organisasi tersebut terhadap organisasi lainnya. Budaya yang dominan ini merupakan panduan perilaku dari para karyawan sehari-harinya dalam melaksanakan pekerjaannya. Robbin (1994:505) menyatakan semakin luas suatu budaya yang dianut maka makin tinggi kesetujuan diantara anggota mengenai nilai-nilai itu.
Sedangkan subculture adalah sebagai kultur-kultur lain yang tumbuh didalam organisasi, secara spesifik ditumbuhkan oleh perbedaan bagian atau perbedaan geografis yang merupakan kontribusi nilai dari golongan minoritas anggota organisasi. Subculture biasanya terbentuk dalam organisasi yang besar, dimana mencerminkan masalah-masalah yang umumnya terjadi, situasi atau pengalaman yang dihadapi setiap waktu oleh anggota tersebut. Subculture juga terbentuk karena pengalaman dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi dalam bagian-bagian organisasi. Subculture yang didapat tadi juga merupakan kepribadian dari masing masing bagian dalam organisasi. Disisi lain subculture dapat juga memperlemah atau mengganggu organisasi, terutama jika terjadi konflik antar kultur yang dominant atau tujuan organisasi secara keseluruhan dengan subculture yang ada. Robbin (1994: 502) juga menyatakan organisasi yang lebih besar akan mempunyai daya tahan terhadap perubahan budaya karena organisasi demikian cenderung mempunyai lebih banyak sub budaya.
Sebagai upaya dari kejadian tersebut adalah bahwa subculture terbentuk untuk membantu aktivitas anggota organisasi dalam pekerjaan sehari hari, dimana subculture tersebut diarahkan untuk mendukung kutur yang dominan. Budaya subculture ini biasanya merupakan budaya yang terbentuk sebagai Budaya Output. Budaya sebagai Output ini merupakan budaya yang diperoleh dari pembelajaran organisasi mengenai keberhasilan, kesuksesan ataupun kegagalan mereka. Selain Budaya sebagai Output terdapat budaya sebagai Input yang bersumber dari pemilik organisasi (pemegang saham), eksternal organisasi, pihak yang berkepentingan dan juga masyarakat. Budaya sebagai input inilah yang menjadi budaya dominan suatu unit organisasi, karena budaya input juga dapat berasal dari pusat organisasi pada saat dia mengarahkan pembentukan budaya unit organisasi.
Sebagai proses sosial kedua budaya ini (Dominant dan Subculture) akan menyatu, dan terdapat tiga kondisi penyatuan budaya yang bisa terjadi: akomodasi, akulturasi dan asimilasi. Akomodasi adalah proses penerimaan budaya yang satu oleh budaya yang lain sebagaimana adanya, baik berdasarkan kesukarelaan, kesepakatan, kesenasiban atau pertukaran. Identitas masing-masing tetap utuh dan terpeliahara. Akulturasi adalah proses adopsi budaya yang satu terhadap yang lain sementara identitas maing-masing tetap utuh, dan terjadi suatu pembentukan budaya baru (sinergi budaya). Sedangkan asimilasi mengandung arti budaya yang satu menyatu, berubah atau menjadi sama. Identitas masing-masing relatif berubah atau sebaian besar hilang.


C. KARIR
Karir dapat dilihat dengan berbagai cara. Karir dapat dilihat sebagai mobilitas pada suatu organisasi. Karir dapat pula dilihat dalam kaitannya dengan tingkat kemapanan kehidupan seseorang setelah mencapai tingkatan umur tertentu yang ditandai dengan penampilan dan gaya hidup orang tersebut. Menurut Greenberg dan baron (1995) karir didefinisikan sebagai tahap-tahap perkembangan pengalaman kerja seseorang selama masa. Sedangkan menurut Cascio (1972), karir adalah sesuatu rangkaian posisi, tugas, atau kesempatan yang dimiliki seseorang selama dia berkerja. Pengertian ini serupa dengan yang dikemukakan oleh robbins (1993) yang mengartikan karir sebangai urutan posisi yang diduduki seseorang selama masa hidupnya. Demikian pula pendapat werther& davis (1996) yang mengatakan karir sebagai semua jabatan yang dipengang oleh seseorang selama kehidupan kerjanya. Sedangkan pendapat mengenai karir yang lain dikemukakan oleh Edwin b.flippo (1991) yang mendefinisikan karir sebagai sesuatu rangkaian kegiatan kerja yang terpisah tetapi berkaitan, yang memberikan kesinambungan, ketentraman, dan arti dalam riwayat hidup seseorang.
Kata karir dapat dipandang dari beberapa perspektif yang berbeda. Simamora (1997) mengatakan bahwa karir dipandang dari dua prespektif, yaitu obejektive dan subjective. Menurut prespektif objective, karir adalah urutan-urutan posisi yang diduduki oleh sesorang selama masa hidupnya, sedangkan menurut prespektive subjective, karir terdiri atas perubahan-perubahan nilai, sikap dan motivasi yang terjadi karena orang semakin tua. Kedua prespektive diatas terfokus pada individu, yaitu menganggap orang beberapa tingkat pengendalian terhadap nasib mereka sehingga memanipulasi peluang agar memaksimalkan keberhasilan dan kepuasan yang berasal dari karir mereka. Prespektif tersebut lebih jauh menganggap bahwa aktivitas-aktivitas sumber daya manusia harus mengenali tahap karir dan membantu karyawan dengan tugas-tugas pengembangan yang mereka hadapi pada setiap karir.
            Konsep baru mengenai karir sering dihubungkan sebagai protean career (Hall, 1996) dalam (Noe, 2000). Suatu protean career didefiniskan sebagai karir yang didorong oleh individu dan bukan oleh organisasi dan hal tersebut akan disesuaikan dengan diri individu itu sendiri dan perubahan lingkungannya. Perusahaan berfungsi sebagai fasilitator yang memberikan tantangan pekerjaan dan hubungan secara formal maupun informal dalam jaringan kerja. Dibandingkan dengan pandangan karir tradisionil dengan protean career dalam berbagai dimensi.
Tabel 2.2
Perbandingan antara Karir Tradisional dan Protean Career
(sumber: Rival, 2000)
Model pengelolaan karir tradisional adalah model pengelolaan lama yang diwujudkan dengan perjanjian jangka panjang atau bahkan seumur hidup antara karyawan dan majikan. Jenjang karir ditentukan dengan tataran hirarkis akan menghasilkan kompetisi sumber daya manusia yang statis. Dengan ruang gerak yang terbatas tersebut tentu tidak memberikan iklim yang menguntungkan bagi karyawan maupun perusahaan.
            Oleh karena itu untuk mengatasi sisi negative yang ditimbulkan model pengelolaan karir traditional ini, sudah saatnyalah dirumuskan kembali pengelolaan karir yang relevan dengan tuntutan lingkungan internal dan eksternal. Hall (1996) menggambarkan bahwa kontrak karir pada masa mendatang akan berbeda dengan kontrak karir saat ini. Karyawan tidak lagi terikat kontrak kerja tradisional dimana mereka masuk perusahaan, bekerja keras, menunjukkan kinerja baik, loyal dan komitmen, kemudian mereka menerima kompensasi yang lebih tinggi dari perusahaan secara terus-menerus akan memberi karyawan kesempatan karir jika karyawan masih bekerja pada perusahaan dan masih mempertahankan kinerjanya. Kontrak karir yang baru akan lebih didasarkan pada continius learning dan perubahan identitas, yang dalam Hall (1996) disebut sebagai the path with a heart.
            Kontrak karir yang baru pada masa mendatang akan memiliki karakterisitik sebagai berikut (Hall, 1996):
  1. Protean career: karir protein yang berarti karir yang ditentukan dan dikelola oleh sesorang bukan organisasi dan akan selalu diperbaharui oleh individu itu sendiri.
  2. Phsycological success: tujuan utama karir masa datang adalah kesuksesan psikologis yaitu perasaan bangga atas tercapainya tujuan hidup utama sesorang, kebahagiaan keluarga, kedamaian hati dan sebagainya.
  3. Continius learning: pengembangan karir tidak lagi diukur berdasarkan usia dan tahapan hidup secara kronologis tetapi dari continius learning dan karir abad mendatang dipandang sebagai serangkaian tahap-tahap pembelajaran singkat yang disebut career age
  4. Sources of development: karir akan bertumbuh dengan pembelajaran secara terus-menerus. Proses pembelajaran ini akan berjalan melalui kombinasi individu, tantangan kerja, saling hubungan antar manusia.
  5. Profil Kesuksesan: tuntutan pasar kerja akan bergeser dari kemampuan yang bersifat know how kearah learn how. Job security tidak lagi menjadi hal yang terpenting yang akan digantikan oleh employability (kemampuan untuk dipekerjakan). Protean career menuntut adanya kesadaran dan tanggung jawab individu. Ini berarti pengembangan karir seluruhnya menjadi tanggung jawab masing-masing individu. Adapun hubungan antar individu masih bersifat win-win yang lebih fair.
  6. Karir metakompetensi: Setiap individu harus terus mengembangkan kompetensinya yang berkaitan dengan self management dan karirnya, tiap orang perlu belajar bagaiamana mengembangkan pengetahuan dan adaptibilitas dirinya. Kemampuan ini disebut dengan ketrampilan meta skill yaitu keahlian yang dituntut untuk melakukan pembelajaran tentang bagaimana cara mempelajari suatu hal.

Meskipun terjadi perubahan dalam konsep karir, individu dan pasar tenaga kerja sekarang ini tetap membutuhkan career development action yang sama seperti sebelumnya. Kegiatan seperti self-discover, career research, dan continued learning tetap penting. Bahkan dalam restrukturisasi organisasi, traditional career path tetap merupakan sumber informasi yang valid meskipun akan menjadi lebih sulit dalam mendefiniskan satble path karena posisi karir yang akan datang memiliki tempat yang berubah.

1.         Pengembangan karir.
Pengembangan karir dalam organisasi merupakan salah satu bagian dari proses pengembangan sumber daya manusia. Pengembangan karir meliputi perencanaan karir dan manajemen karir (Bernadin & Russel, 1993). Program pengembangan karir dirancang agar organisasi menempatkan orang-orang yang tepat ditempat yang benar pada waktu yang tepat sehingga tercapai keseimbangan yang berkelanjutan antara kebutuhan karir inidividu dan kebutuhan tenaga kerja organisasi.
Memahami pengembangan karir didalam organisasi membutuhkan suatu pemeriksaan terhadap dua proses, yaitu bagaimana masing-masing orang merencanakan dan menerapkan tujuan-tujuan karirnya (perencanaan karir) dan bagaimana organisasi mendesain dan mengimplementasikan program-program pengembangan karir (manajemen karir). Proses-proses tersebut ditunjukan dalam model pengembangan karir organisasional pada gambar berikut dibawah ini:
Gambar. 2.1 Model Pengembangan Karir
Definisi pengembangan karir menurut Prsetyo (1997:91) adalah suatu proses merekayasa perilaku kerja pegawai sedemikian rupa sehingga pegawai menunjukan kinerja yang optimal dalam pekerjaannya.
Amstrong (1989:484) mendefinisikan bahwa pengembangan karir pegawai dimulai dari tanggung jawab seorang manager (pimpinan) yang dapat memberikan imbal balik dari pengabdian yang berpotensial, indikasi dari karir pegawai yang dimungkinkan dapat berkembang. Organisasi akan membantu karir pegawai yang bekerja dengan baik. Selanjutnya bahwa seorang pimpinan itu harus dapat memberikan gambaran tentang kesempatan atau jalur yang perlu ditempuh dalam meraih karir.
Pengembangan karir dapat dikembangkan melalui jalur diklat dan nondilklat. Melalui diklat adalah:
1. Memberi kesempatan pegawai untuk melanjutkan pendidikan formal baik didalam negeri maupun diluar negeri.
2. Memberikan pendidikan dan pelatihan (diklat) baik struktural, fungsional maupun teknis dan administrasi.
3. Memberikan pelatihan / magang ditempat kerja (on the training).
Sedangkan jalur non diklat diuraikan sebagai berikut :
1. Memberikan penghargaan kepada pegawai yang baik dan hukuman kepada pegawai yang tidak baik.
2. Mempromosikan pegawai ke jabatan yang lebih tinggi.
3. Merotasi pegawai kedalam jabatan lain yang setara dengan jabatan semula.

Pengembangan karir merupakan pelaksanaan (implementasi) perencanaan karir. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan karir adalah:
1.         Hubungan pegawai dengan organisasi.
Dalam keadaan ideal hubungan antara pegawai dan organisasi adalah saling menguntungkan sehingga dapat mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Saling menguntungkan disini diartikan bahwa bagi pegawai, organisasi merupakan tempat atau wadah dimana pegawai tersebut berpijak dan bergantung mencari karirnya. Sedangkan bagi organisasi, pegawai merupakan alat yang dapat mengembangkan dan membesarkan organisasi. Jadi maju dan mundurnya organisasi bergantung pada kemampuan pegawai dalam pengelolaannya. Kadangkala diantara organisasi dan pegawai tidak ada keharmonisan dalam menjalin hubungan kerjasamanya. Pegawai yang sudah bekerja dengan baik tetapi prestasinya tidak mendapat penghargaan yang sewajarnya dari organisasi. Ketidakharmonisan antara pegawai dan organisasi akan mempengaruhi proses manajemen karir pegawai. Proses pengembangan karir pun akan terhambat yang disebabkan ketidakpedulian organisasi.
2.         Personalitas pegawai
Pegawai yang terlalu emosional, apatis, ambisius, curang dan lain-lain merupakan penyimpangan dari personalitas pegawai. Pegawai yang mempunyai personalitas yang kurang baik sulit untuk dibina karirnya, sebab terlalu apatis, tidak peduli pada tanggung jawab pekerjaan dan lingkungan. Pegawai yang terlalu ambisius dan curang kemungkinan mempunyai sifat memaksa untuk mencapai tujuan karirnya. Aturan dan etika dalam organisasi sudah tidak diindahkan lagi. Sedangkan pegawai yang mempunyai personalitas yang baik mudah untuk dibina, sangat kreatif, tanggap terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Pembentukan personalitas ini banyak didapat dari pendidikan dan pelatihan. Dari personalitas yang baik ini proses pengembangan karier akan berjalan sesuai dengan perencanaan.
3.         Faktor-faktor eksternal
Manajemen karir dalam suatu organisasi dapat menjadi kacau balau akibat adanya intervensi dari luar. Intervensi ini sering terjadi ketika adanya promosi jabatan yang lebih tinggi. Rencana karir dari dalam sering terjadi batal akibat adanya droping pegawai dari luar organisasi. Akibat adanya sistem perencanaan karir menjadi kacau. Kejadian inipun sering terjadi dalam perusahaan-perusahaan BUMN.
4.         Politik dalam organisasi
Manajemen karir pegawai akan tersendat dan bahkan mati apabila ada intrik-intrik, hubungan antar teman, nepotisme, feodalisme yang mempengaruhi karir seorang pegawai dari pada pengakuan prestasi kerjanya. Jadi politik yang parah dalam organisasi mengakibatkan perencanaan karir menjadi rusak. Sehingga tidak ada lagi pegawai yang bekerja secara profesioal.
5.         Sistem penghargaan
Unsur penghargaan akan banyak mempengaruhi manajemen karir. Jadi sistem penghargaan yang jelas akan mempengaruhi prestasi kerja pegawai, sehingga akan jelas pula sistem pengembangan karir pegawai. Pegawai yang memiliki pendidikan tingkat tinggi dan diklat yang cukup serta memiliki prestasi kerja yang baik harus diberikan penghargaan yang sesuai disamping gaji dan insentif yang memadai yaitu berupa promosi jabatan.
6.         Jumlah pegawai
Jumlah pegawai dalam tingkat yang tinggi akan membuat tingkat persaingan yang tinggi untuk meraih suatu promosi jabatan. Sedangkan tingkat jumlah pegawai yang rendah akan membuat sistem manajemen lebih sederhana dan mudah dikelola, sehingga kesempatan bagi pegawai untuk mendapatkan promosi jabatan dan karir akan lebih terbuka.
7.         Ukuran organisasi
Suatu organisasi dapat dilihat besar atau kecilnya melalui jenis pekerjaan, jumlah personel dan jumlah jabatan. Kesempatan untuk promosi dan rotasi pegawai dipengaruhi oleh besarnya organisasi dan manajemen karir.


8.         Kultur organisasi
Organisasi mempunyai kultur dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri. Ada organisasi yang cenderung berkultur profesionalisme, objective, rasional dan demokratis. Ada pula yang cenderung feodalistik, konservatif dan birokratis. Ada pula organisasi yang cenderung menghargai prestasi kerja (merit sistem) dan ada juga yang menghargai senioritas. Jadi meskipun organisasi sudah memiliki manajemen karir yang baik tapi pelaksanaanya masih tergantung pada kultur organisasi yang terlbih dajulu muncul.
9.         Tipe Manajemen
Berbagai tipe manajemen sangat mempengaruhi atas pengembangan karir otoriter pegawai. Ada beberapa manajemen yang cenderung kaku, tersentralisir, tertutup, dan tidak demokratis. Untuk tipe manajemen yang demikian keterlibatan pegawai dalam pembinaan karir sangat kecil. Tetapi apabila manajemen yang flexibel, partisipatif, terbuka dan demokratis, maka keterlibatan pegawai dalam pembinaan karir cenderung besar. Pengembangan karir pegawai tidak hanya bergantung pada faktor-faktor internal (pendidikan, kemampuan, motivasi diri dan sebagainya) tetapi juga bergantung pada faktor external seperti manajemen. Banyak pegawai yang sebenarnya pekerja keras, cerdas dan jujur terpaksa tidak berhasil meniti karir dengan baik, hanya karena pegawai tersebut terjebak dalam sistem manajemen yang buruk.
           
2.         Perencanaan Karir
Perencanaan karir adalah proses dimana indivividu mengidentifikasikan dan mengambil langkah-langkah untuk mencapai tujuan-tujuan karirnya (Simamora, 1997). Hall (dalam bernadin dan Russl, 1993) mengatakan bahwa “career planning is a deliberate attempt by an individual to become more aware of his or her own skill, interest, value, opportunities, constraint, choices and consequences”. Perencanaan karir melibatkan pengidentifikasian tujuan-tujuan yang berkaitan dengan karir dan penyusunan rencana-rencana untuk mencapai tujuan-tujuan akhir. Sub proses yang dilakukan individu dalam perencanaan karir adalah pemilihan jabatan (occupational choice), pemilihan organisasi (organizational choice), pemilihan penugasan/pekerjaan (choice of job assignment), dan pengembangan karir pribadi career self-development). Perencanaan karir penting karena konsekuensi keberhasilan atau kegagalan karir terkait erat dengan konsep diri, identitas, dan kepuasan setiap individu terhadap karir dan kehidupannya.
Perencanaan karir yang berhasil tergantung pada kemampuan perusahaan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang dianggap penting bagi pengembangan karyawan dan pencapaian tujuan organisasional.
Perencanaan karir adalah proses melalui mana seseorang memilih sasaran karir dan jalur karir kesasaran tersebut (Handoko, 1995). Pengertian ini serupa dengan yang ditemukan oleh mondi (1990) yang mengatakan bahwa perencanaan karir adalah suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk menentukan sasaran karir dan mengidentifikasi cara untuk mencapainya. Definisi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Bernardin yang memandang karir sebagai sesuatu proses yang dilakukan seseorang untuk menjadi lebih sadar akan kemampuan-kemampuan, ketertarikan-ketertarikan, nilai-nilai, peluang-peluang, pilihan-pilihan, penawaran-penawaran, dan konsekuensi-konsekuensinya. Hal itu juga termasuk mengidentifikasi karir yang berhubungan dengan sasaran dan membuat rencana-rencana untuk mencapai sasaran tersebut (Bernardin, 1993). Tujuan program perencanaan karir adalah menyelaraskan kebutuhan, kemampuan, dan tujuan karyawan dengan kesempatan dan tantangan saat ini dan dimasa mendatang didalam organisasi. Dengan demikian, program perencanaan karir memiliki strong point pada pencapaian keserasian antara keahlian, pengetahuan, kemampuan dan tuntutan pekerjaan dengan kepribadian, minat, preferensi, dan imbalan pekerjaan. Sistem ini memadukan aktivitas pegawai dan manajer dengan kebijakan dan prosedur organisasi.
Perencanaan karir merupakan proses yang sengaja dilakukan untuk (Bernardin,1993):           
  1. Menyadari kemampuan, kesempatan, kendala pilihan dan konsekuensi diri terhadap karir.
  2. Progam kerja, pendidikan, dan pengalaman yang berhubungan dengan pengembangan untuk mengarahkan, mengatur waktu dan langkah-langkah untuk mencapai tujuan karir tertentu.                                                   
Dalam perencanaan karir individu memilih jalur mana yang akan dilalui dalam membentuk sejarah karirnya, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan kesempatan yang dimiliki juga kesempatan yang diberikan perusahaan. Sub-proses yang dilakukan individu dalam perencanaan karir adalah pemilihan jabatan (Occupational choice), pemilihan organisasi (Organizational choice), pemilihan penugasan/pekerjaan (Choice of job assignment), dan pengembangan karir pribadi (Career self development).
Perencanaan karir sangat diperlukan oleh suatu perusahaan untuk meningkatkan produktivitas karyawan dan pada saat yang sama mempersiapkan diri mereka untuk melakukan sesuatu perubahan (Robbins, 1993). Perencanaan karir akan membantu karyawan untuk mencapai pengembangan dirinya secara maksimal dan selalu siap menggunakan kesempatan karir yang ada dalam jalur karirnya. Sistem perencanaan karir memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi sasaran-sasaran dan jalur-jalur untuk menuju kesasaran karirnya didalam suatu organisasi (Wether, 1989).
Sistem perencanaan karir diperlukan individu sebagai pijakan dasar untuk menentukan dan mengelola rencana karir mereka (Leap: 1993). Karena dengan adanya sistem perencanaan karir, maka karyawan dapat mendiagnosis diri sendiri tentang minat, bakat, dan kemampuannya yang selanjutnya akan merencanakan karir dan pekerjaannya untuk masa yang akan datang. Organisasi akan mendapatkan keuntungan dari perencanaan karir ini dengan adanya karyawan yang termotivasi dan mendapat jaminan ketersediaan karyawan yang memiliki kemampuan yang maksimal.
            Melalui perencanaan karir. Seseorang mengevaluasi kemampuan dan minatnya sendiri, mempertimbankan kesempatan karir alternatif, menyusun tujuan karir, dan merencanakan aktivitas-aktivitas pengembangan praktis. Fokus utama perencanaan karir harus sesuai antara tujuan pribadi dan kesempatan-kesempatan yang secara realistis tersedia. Perencanaan karir sebaiknya tidak hanya terkonsentrasi pada kesempatan promosi.
            Perencanaan karir melibatkan aktivitas berupa latihan diagnostik dan prosedur untuk membantu orang tersebut menentukan “siapa saya” dari segi potensi dan kemampuan prosedur ini meliputi suatu “pengecekan realitas” untuk membantu individu menuju suatu indentifikasi yang bermakna dari kekuatan dan mengoreksi kelemahan. Pada umumnya perencanaan karir terdiri atas:
1.    Penilaian individu tentang kemampuan, minat dan tujuan karir.
  1. Komunikasi imformasi tentang kebebasan memilih dan kesempatan karir pada organisasi.

Tahapan dalam penilaian diri untuk menentukan perencanaan karir seseorang dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
(Sumber Huddleston, 1996)
Gambar 2.2. Proses Perencanaan Karir Individu

Perencanaan karir juga merupakan proses yang bekelanjutan. Perencanaan karir dimulai dengan penempatan seseorang didalam pekerjaan jenjang entrty dan orientasi awal. Individu karyawan akan melakukan penelitian terhadap minat, bakat dan kemampuannya. Selanjutnya individu menentukan keputusan karirnya berdasarkan kesempatan terhadap kebutuhan dan tujuan strategi karir. Individu lalu membuat rencana aksi dan mengimplementasikan rencana karir menuju pencapaian karir yang diinginkannya.
Dipihak lain, manajemen akan mengobservasi kinerja karyawan dan membadingkannya dengan suatu pekerjaan. Pada tahap ini, manajemen akan mencatat kekuatan dan kelemahan karyawan dan memungkinkan mereka membantu karyawan dalam mebuat keputusan karir tentative. Keputusan karir tentative didasarkan pada sejumlah factor, termasuk kebutuhan pribadi, kemampuan, aspirasi, dan kebutuhan organisasi. Manajemen dalam proses ini juga memberi informasi mengenai pilihan pilihan dan kesempatan karir, yaitu informasi yang terdiri dari atas arah karir, jalur karir, dan lowongan formasi karir yang ada dalam perusahaan. Informasi ini dibutuhkan oleh karyawan dalam merencanakan karir mereka dan menyelaraskan dengan kebutuhan organisasi. Manajemen menindaklanjuti perencanaan karir dengan menjadwal program pengembangan sumber daya manusia yang berkaitan dengan kebutuhan speseifik individu.
            Selanjutnya, departemen sumber daya manusia bertugas memenuhi kebutuhan penyusunan staf dengan kandidat-kandidat internal melalui penggunaan keputusan penempatan dan bantuan perencanaan karir untuk mengisi kebutuhan kepegawaian organisasi dimasa yang akan datang secara domestik dan global. Rencana sumber daya manusia yang efektif menerjemahkan strategi korporat kedalam kebutuhan kepegawaian. Pada saat organisasi merampingkan diri, peluang karir akan mengecil. Departemen sumber daya manusia dapat membantu karyawan mengidentifikasikan kesempatan pengembangan karir yang terentang mulai dari transfer lateral sampai ke gugus tugas khusus. Upaya ini dapat meyakinkan karyawan yang masih tinggal biasanya dianggap sebagai karyawan-karyawan yang terbaik sehingga penting sekali untuk menahan dan memotivasi mereka.
            Keterlibatan departemen sumber daya manusia dalam perencanaan karir meliputi (Simamora, 1997):
  • Menghubungkan strategi dan kebutuhan peyusunan internal
Departemen sumber daya manusia dapat mempersiapkan karyawan untuk mengisi kekosongan jabatan yang diidentifikasikan dalam rencana sumber daya manusia dan menghasilkan bauran yang lebi baik dari bakat-bakat yang dibutuhkan untuk menunjang strategi perusahaan.
  • Mengembangkan karyawan yang dapat dipromosikan
Perencanaan karir membantu mengembangkan sumber daya internal dari tenaga-tenaga yang dapat dipromosikan untuk mengisi kekosongan yang disebabkan oleh pensiun, pengunduran diri, dan pertumbuhan perusahaan.
  • Membantu menangani diversitas tenaga kerja
Perencanaan karir membantu karyawan dengan latar belakang yang berbeda mempelajari pengharapan orientasi untuk pertumbuhan dan pengembangan diri.
  • Menurunkan tingkat perputaran karyawan
Meningkatkan perhatian dan kepedulian terhadap karir individu dapat menumbuhkan loyalitas organisasional yang lebih kokoh dan menurunkan tingkat perputaran karyawan
  • Membuka saluran potensi karyawan
Perencanaan karir mendorong karyawan untuk membuka lebih banyak potensi karena mereka mempunyai tujuan akhir yang spesifik. Hal tersebut tidak hanya mempersiapkan karyawan untuk mengisi lowongan-lowongan di masa yang akan datang, namun juga kinerja yang lebih baik diantara para pemegang jabatan.
  • Memperdalam pertumbuhan pribadi
Rencana dan tujuan karir memotivasi karyawan untuk tumbuh dan berkembang.
  • Mengurangi penumpukan karyawan
Perencanaan karir mendorong para karyawan, manajer, dan departemen sumberdaya manusia untuk mengethui kualifikasi kualifikasi karyawan dan mencegah manajer-manajer yang egois untuk menumpuk karyawan-karyawan kunci demi keuntungan pribadi.
  • Memuaskan kebutuhan karyawan
Departemen sumber daya manusia dapat membantu memenuhi kebutuhan karyawan melalui pengurangan penumpukan karyawan, perluasan peluang pertumbuhan dan kebutuhan penghargaan diri individu, seperti pengakuan dan pencapaian.
Perencanaan karir berawal dari penilaian diri yang membantu sesorang melihat jangka karir, mana yang kemungkinan dominant. Orang tersebut selanjutnya berada dalam posisi membuat tujuan realistis dan menentukan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Tindakan tersebut juga memungkinkan seseorang mengetahui apakah tujuan karirnya realistis.
                  Suatu evaluasi reguler terhadap kekuatan dan kelemahan pribadi memberikan landasan bagi perencanaan karir. Penilaian diri berarti mengambil suatu persediaan keahlian, minat, pengalaman, sifat kepribadian, dan karakteristik pribadi lainnya. Penilaian diri yang realistis dapat membantu seseorang menghindari kesalahan yang dapat mempengaruhi keseluruhan progesi karirnya. Suatu penilaian diri yang teliti akan membantu menyesuaikan kualitas dan tujuan spesifik individu dengan profesi atau pekerjaan yang tepat. Penilaian diri membantu menentukan opsi pekerjaan, kebuthan pelatihan, pengembangan, dan tujuan karir. Penilaian ini dapat memberi informasi untuk menentukan:
  • Pekerjaan dan posisi yang dicoba atau dihindari.
  • Strategi yang digunakan untuk mendapatkan suatu pekerjaan tertentu.
  • Pekerjaan yang akan dipilih diantara alternative pekerjaan yang ditawarkan.
  • Penugasan dan transfer yang akan diterima.
  • Urutan perubahan pekerjaan yang akan membantu mencapai pekerjaan yang lebih diamati.

3.         Manajemen Karir
Manajemen karir adalah proses dimana organisasi mencoba untuk menyesuaikan minat karir individual terhadap kemampuan organisasi untuk merekruit karyawan (Gutteridge, 1976). Bernadin (1993) berpendapat bahwa manajemen karir merupakan proses terus menerus yang dilakukan oleh perusahaan/institusi dalam menyiapkan, mengimplementasikan dan memonitor rencana-rencana karir yang akan dilakukan individu sendiri atau yang berkaitan dengan system karir perusahaan. Manajemen karir merupakan proses organisasi yang meliputi preparing, implementing, dan monitoring rencana karir yang dilakukan oleh individu itu sendiri atau dalam system karir organisasi. Ini dilakukan dengan membantu karyawan dalam perencanaan karirnya dan pengembangan aktivitas untuk menjamin bahwa perencanaan karir sesuai dengan kebutuhan organisasi. Aktivitas penting dalam manajemen karir adalah mengintegrasikan kebutuhan sumber daya manusia dengan sejumlah aktivitas karir dengan menitikberatkan pada jenjang dan jalur karir. Kebutuhan sumber daya manusia merupakan komponen penting dari proses perencanaan sumber daya manusia, sedangkan jalur karir merupakan perangkat yang menghubungkan keluarga pekerjaan didalam organisasi.
            Manajemen karir adalah proses terus-menerus yang dilakukan oleh organisasi untuk memilih, menilai, menugaskan, dan mengembangkan karyawan yang berkaitan dengan penyediaan suatu kumpulan orang-orang yang berbobot untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dimasa yang akan datang (Simamora, 1997). Hall (dalam Bernadin dan Russel, 1993) mengatakan bahwa “career management is considered to be an organizational process which involves preparing, imlplementing, and monitoring career plans undertaken by an individual alone within the organization’s career system”. Manajemen karir memiliki beberapa aspek yaitu: recruitment, placement, training and development, decruitment and alternatives Walker, 1980). Recruitment meliputi penarikan pelamaran, penetuan persyaratan, seleksi, penerimaan dan orientasi. Placement meliputi penetuan persyaratan kerja dan jalur karir, sistem inventori dan penempatan dan penawaran jabatan (job posting and bidding), prosedur seleksi program percepatan jabatan, program suksesi dan relokasi. Training and Development meliput perencanaan karir individu, analisis kebutuhan pelatihan, desain program dan pengembangan, riset dan evaluasi. Decruitment and alternative meliputi penghentian, pensiun, demosi dan transfer.
Sebelum adanya pengembangan karir, perlu dibuat perencanaan karir yang berguna bagi pegawai untuk mempertimbangkan karir alternatif, menyusun tujuan karir dan merencanakan aktivitas-aktivitas pengembangan karir. Hal ini disampaikan oleh Simamora (1997:514). Ada dua elemen utama dalam perencanaan karir yaitu perencanaan karir organisasi dan perencanaan karir individual. Kedua elemen tersbut masing-masing dapat dipengaruhi dari berbagai unsur seperti bagan dibawah ini yang selanjutnya akan dimatching dan dapat dikembangkan karirnya.
Pengembangan karir didalam sebuah organisasi membutuhan suatu pemeriksaan atas dua proses, yaitu:
1.         Bagaimana masing-masing orang merencanakan dan menerapkan program-program pengembangan karirnya.
2.         Bagaimana organisasi merancang dan menerapkan program-program pengembangan karirnya.
Menurut Allred B, B.cs (1996) tiga faktor kunci antara struktur organisasi dengan pengelolaan karir yaiu:
1.         Organisasi mengarahkan terbentuknya core mangerial competencies.
2.         Struktur organisasi yang membedakan syarat komposisi managerial competencies yang berbeda pula.
3.         Struktur organisasi yang memberi arah pada model pengelolaan karir.

Tahap-tahap pengembangan karir dapat dilalui oleh suatu rangkaian fase/tahap yang relatif dapat diprediksi. Dimulai dengan eksplorasi dan investigasi awal terhadap kesempatan karir dan diakhiri dengan masa pensiun. Organisasi menyediakan kesempatan iternship agar individu dapat mencoba pilihan karir yang berbeda dan dapat menguji beraneka pilihan jabatan melalui diklat dan kursus-kursus lain, maka titik tolaknya dimulai dari pengangkatan calon pegawai. Selanjutnya pegawai itu sendiri yang menentukan arah pilihanya yang secara efektif dapat mengembangkan karirnya dalam suatu organisasi.
Karir dan model-model taraf hidup merupakan suatu hal yang sangat berkaitan. Dan keduanya mengungkapkan pola pertumbuhan yang berulang atau dapat mengembangkan kecakapan-kecakapan baru serta menantang pada saat seseorang yang memasuki sebuah tahap. Karir merupakan satu rangkaian fase atau tahap yang relative dapat diprediksi, dimulai dengan explorasi, investigasi awal terhadap kesempatan karir, dan diakhiri dengan pensiun (Bernadin & Russel, 1993). Perencaaan karir harus mengingat isu dan tugas yang berbeda yang dihadapi individu setiap tahap. Karir dan model-model taraf hidup sangat berkaitan karena keduanya berhubungan dengan usia dan norma-norma cultural, yaitu keduanya mengungkapkan pola pertumbuhan yang berulang atau mengembangkan kecakapan-kecakapan baru dan menantang pada saat seseorang memasuki sebuah tahap stabilitasi atau memberikan perubahan-perubahan dari tuntutan tahap sekarang ke tuntutan yang diantisipasi pada tahap berikutnya. Program karir perlu disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan individu pada berbagai tahap kehidupan dan karir mereka.
Adapun pengembangan karir dapat diperhatikan sebagai berikut:
Karir awal, yaitu dimulai pada saat seseorang memasuki organisasi. Tantangan pekerjaan pertama dan bentuk pengawasan pekerjaan berkontribusi terhadap pengembangan karir individu dikemudian hari. Variabel yang memungkinkan pencapaian suatu jenjang pekerjaan dalam karir sesorang adalah aspirasi awal. Kalangan karyawan harus dipacu agar mencapai ssesuatu yang tinggi karena pada umumnya aspirasi yang lebih tinggi memacu kinerja yang lebih tinggi. Disamping itu, seorang penyelia pertama memegang peran yang penting. Dia harus secara pribadi aman, tidak terancam oleh pelatihan, ambisi, dan energi dari bawahan yang baru, serta mampu menyampaikan norma dan nilai perusahaan. Seorang penyelia yang idela hendaknya mampu memainkan peranan pelatih, pemberi umpan balik, model peran, dan pelindung dalam menerima perilaku pemupukan kepercayaan diri.
Karyawan melalui tiga tahap saat mereka memasuki sebuah organisasi (Simamora, 1997):
  1. Selama tahap memasuki, karyawan mencoba mendapatkan gambaran realistis mengenai organisasi dan mencari pekerjaan yang paling sesuai dengan keahlian, pengalaman, prefensi dan minat.
  2. Selama tahap berlatih, karyawan mencoba menjadi partisipan yang dapat diterima dalam suatu kelompok kerja, menjalin hubungan dengan rekan sejawat dan penyelia, menunjukkan kompetensi, dan menentukan perannya.
  3. Selama tahap mengatur, karyawan menyelesaikan konflik-konflik diluar kehidupan kerja dan konflik tuntutan didalam pekerjaan. Peranan pemangku jabatan adalah menjernihkan interaksi antara tuntutan perkerjaan dengan tuntutan keluarga dan memprioritaskan tanggung jawab dan aktivitas pekerjaan.
Organisasi dapat membantu karyawan baru supaya terlibat dalam eksplorasi karir dan menyusun karir-karir mereka selama tahap awal karir melalui:
  • Melakukan rekruitmen, orientasi dan praktek-praktek mentor yang efektif memberikan tantangan-tantangan pekerjaan dan tanggung jawab.
  • Menawarkan umpan baliki kinerjayang konstruktif.
  • Mendorong karyawan agar berpartisipasi dalam latihan penilaian diri.
  • Membantu karyawan dalam menentukan jalur-jalur karir yang realistis dan luwes serta memformulasikan rencana-rencana karir.
Karir pertengahan, yaitu tahap dimana seseorangan mengalami stabilisasi, mulai dianggap produktif dan tanggung jawab lebih berat, sehingga mulai mapan yang selanjutnya masuk ketingkat promosi. Dalam karir pertengahan ini mulai ada penugasan khusus. Transfer dan promosi lebih jauh, tawaran dari organisasi lain, kesempatan feasibilitas untuk jenjang yang lebih tinggi dan sebagainya. Tahap ini merupakan pembentukan individu sebagai eksekutif dan pengembangan keahlian individu. Jadi tahap ini merupakan tahap transisi dalam mencapai tujuan hidup. Pada karir pertengahan sering terjadi hal-hal positif seperti pemikiran masalah karir, mencari keselamatan masalah finansial, melanjutkan pendidikan atau pensiun dini. Sedangkan kejadian negatif anatara lain: kebosanan, kegelisahan, depresi, konflik antar pekerjaan dan kehidupan, memburuknya iklim organisasional, pengetahuan, keahlian, ide yang tidak terpakai dan perubahan-perubahan lainnya. Tahap karir pertengahan sering sekali ditandai dengan kemapanan, promosi, dan pengalaman baru, transfer dan promosi yang lebih jauh, tawaran organisasi lain, kesempatan visibiltas untuk jenjang organisasi yang lebih tinggi dan pembentukan nilai seseorang bagi organisasi. Tahap ini juga merupakan suatu periode pembentukan seseorang sebagai eksekutif dan pengembangan tingkat-tingkat keahlian yang dapat bernilai bagi organisasi serta memberikan kontribusi bagi nilai orang tersebut.
Pada tahap ini banyak individu yang mengalami suatu transisi atau perubahan pertengahan kari yang akhirnya menjadi krisis pertengahan karir pada beberapa orang.
Individu menilai ulang pencapaiannya dan kemungkinan untuk mencapai karir pribadi dan tujuan hidup di masa mendatang. Factor-faktor positif, seperti memikirkan ulang keputusan karir, mencari keselamatan ekonomi, melanjutkan pendidikan atau pensiun dini; atau faktor-faktor negatif, seperti kebosanan, kegelisahan, depresi, konflik antara pekerjaan dan tahap kehidupan, memburuknya iklim organisasional, pengetahuan, keahlian atau ide yang tidak terpakai, dan berubahnya persyaratan tenaga kerja, dapat berubah secara cepat pada pertengahan karir. Analisis situasional dan penilaian diri, pemeriksaan alternatif, penentuan tujuan, dan perencanaan dapat membantu individu menghadapi tahap karir pertengahan.
Salah satu strategi menghadapi masalah pada karir pertengahan adalah melatih karyawan untuk membina karyawan yang lebih junior. Karyawan yang berada pada karir pertengahan dapat menjaga dirinya tetap segar, energik, dan mutakhir, sedangkan karyawan yang lebih muda belajar melihat gambaran dan mengambil manfaat dari pengalaman karyawan yang lebih senior. Suatu kebutuhan psikologis yang penting pada karir pertengahan adalah membangun sesuatu yang merupakan kontribusi permanen pada organisasi atau profesi. Pengembangan suatu ganerasi pemimpin di masa depan dapat menjadi suatu kontribusi yang signifikan, permanen, dan memuaskan.
Strategi lainnya untuk menghadapi masalah karir pertengahan adalah mencegah keusangan melalui pengiriman karyawan ke seminar, workshop, kursus-kursus di unversitas, dan berbagai bentuk melengkapi kembali. Solusi yang terbaik adalah mencegah keusangan sebelum terjadi. Hal tersebut dapat di lakukan melalui pemberian tugas-tugas awal yang menantang, perubahan periodik dalam penugasan, proyek atau pekerjaan, iklim kerja yang komunikatil, balas jasa yang di kaitkan erat dengan pecapian kinerja, dan gaya kepemimpinan yang partisipatif.                                                            
Karir Akhir, yaitu tahap penurunan produktivitas dan karir. Mereka mulai melepaskan diri dari tugas-tugas dan bersiap untuk memasuki masa pensiun. Hal-hal yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah melatih penerus, mengurangi beban kerja dan mendelegasikan tanggung jawab kepada yang lebih yunior.
Suatu titik balik terhadap produktivitas atau penurunan dan pensiun dini dapat mengikuti suatu krisis karir pertengahan. Individu yang produktif dapat memukul peran senior atau menajemen puncak atau mereka mungkin tetap sebangai kontributor peran non kepemimpinan.pada akhirnya mereka mulai melepaskan diri dari berbagai tugas dan bersiap-siap pensiun. Melatih penerus, mengurangi beban kerja atau mendelegasikan tanggung jawab kepada karyawan yang kurang senior dapat mendahului pensiun.
Bagi sebagian besar karyawan, tugas pokok priode karir akhir adalah mempertahankan produktivitas dan menyiapkan diri untuk pensiun yang efektif. Selama karir-karir, sebagian besar karyawan harus mengatasi keusangan setelah karir pertengahan atau masa stabil dan bisa usia negatif pada pekerjaan.individu-individu sebaiknya mempertahankan sikap positif, berpikir ke depan,dan menerima dukungan sosial dari kerabat kerja dan suami atau istri. Karyawan yang berada pada penghujung jalur hendaknya terlibat dalam perencanaan keuangan jaka panjang, mecari waktu bersenang-senang dengan pasangan hidupnya, dan merencanakan pensiun secara hati-hati.
Karyawan dan organisasi memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam mengelola karir. Tabel dibawah ini menunjukkan bahwa pada bagian puncak memperlihatkan bagaimana karyawan, manajer dan organisasi memberikan kontribusi kepada perencanaan karir yang efektif, serta memastikan bahwa karir-karir memenuhi kemampuan dan minat karyawan. Pada bagian bawah menunjukan bagaimana setiap pihak memberikan sumbangan bagaimana setiap pihak memberikan sumbangan bagi manajemen karir yang efektif dan memastikan bahwa keputusan penyusunan staf internal menugaskan peran-peran kepada individu untuk memberikan kontribusi bagi tujuan organisasional. Tabel berikut merupakan aktivitas-aktivitas dalam perencanaan karir dan manajemen karir (Simamora, 1997)


Tabel 2.3. Tanggung Jawab Untuk Pengembangan Karir di Organisasi
(Sumber Simamora, 1997)

Selanjutnya Simamora (1997:511) mengemukakan tiga tahap pegawai memasuki suatu organisasi yaitu:
Tahap pertama, selama tahap memasuki (getting in phase) karyawan mencoba mendapatkan gambaran realistik mengenai organisasi. Tahap kedua, selama tahap berlatih (breaking in phase) karyawan menjalin hubungan dengan rekan sejawat, menunjukan kompetensi dan menentukan peran dan kariernya. Tahap ketiga, yaitu tahap mengatur (setting in phase) karyawan menyelesaikan konflik-konflik didalam dan diluar pekerjaan. Disini akan dituntut menjernihkan pekerjaan, keluarga dan memprioritaskan tanggung jawab dan aktifitas pekerjaan.
Ketiga hal diatas merupakan pengembangan karir yang berasal dari individu diri pribadi pegawai. Sedangkan untuk pengembangan karir diluar pegawai melalui manager dan personalia yang menentukan beban pekerjaan, keahlian dan pengetahuan pegawai yang dibutuhkan untuk melakukan suatu perkejaan dan juga mengelompokkan pekerjaan.
Terdapat empat karekteristik jalur karir, yaitu:
1. Jalur karir harus mewakili kemajuan yang dapat dicapai baik secara lateral maupun vertikal (kebawah).
2. Jalur karir harus merespon perubahan-perubahan dalam beban kerja, prioritas kerja, struktrur organisasi dan kebutuhan manajemen.
3. Jalur karir harus flexibel, mempertimbangkan kualitas individu ataupum manager.
4. Jalur karir harus menentukan keahlian, pengetahuan dan ketrampilan lainnya.

Selanjutnya oleh Koontz dan O’Donnell mengemukakan sepuluh prinsip yang berkaitan dengan pengisian jabatan (struktural), yaitu:
1.         Prinsip sasaran pengisian personil dalam jabatan struktural. Pengisian tersebut harus sesuai dengan jabatan-jabatan yang harus diisi dengan pegawai yang memiliki kompetensi dan bersedia untuk menjalanakan fungsi yang diberikan kepadanya.
2.         Prinsip pengisian personel. Kualitas pengisi jabatan dapat dijamin bila ada uraian jabatannya dan uraian persyaratan-pesyaratan jabatan.
3.         Prinsip perincian jabatan. Spesifikasi jabatan didasarkan pada kebutuhan organisasi dan penetapan peransang yang layak bagi pelaksana tugas secara efisien dan efektif.
4.         Prinsip spesifikasi kemampuan manager. Spesifikasi kemampuan manager dapat ditarik dari sifat pekerjaan yang dilakukan oleh manager tersebut.
5.         Prinsip penilaian kemampuan pemimpin. Prestasi yang telah dicapai oleh seorang pejabat harus dinilai dan dibandingkan dengan prestasi yang seharusnya dicapai serta dengan standart kepatuhan pada ketentuan-ketentuan manejemen.
6.         Prinsip kompetensi terbuka dalam promosi. Pejabat yang dipilih adalah calon-calon yang terbaik, lepas dari persoalan apakah calon itu orang dalam atau orang luar. Sebaiknya pencalonan orang dalam lebih mendapat prioritas karena promosi dari dalam ini akan meningkatkan moral serta reputasi dari organisasi.
7.         Prinsip sasaran pengembangan manajemen. Sasarna dari suatu pengembangan manajemen (dengan jalan antara lain pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan lain sebagainya) adalah untuk meningkatkan kemampuan manager.
8.         Prinsip kepemimpinan pengembangan manajemen. Pengembangan manajemen yang secara efektif dimulai dari manajemen sendiri (Self Management).
9.         Prinsip pengembangan atasan langsung. Pengembangan manager (jabatan) oleh atasannya secara langsung adalah cara yang paling efektif.
10.       Prinsip pengembangan diri. Organisasi hanya akan dapat menerima manager (pejabat) yang senantiasa merasa perlu dirinya dikembangkan terus.
Sebagai gambaran lebih lanjut dikenal tiga sistem pengembangan karir di Indonesia. Pertama yaitu sistem pengembangan karir terbuka, artinya bahwa untuk menduduki suatu jabatan lowong dalam suatu unit organisasi terbuka bagi semua warga, asalkan dia mempunyai kecakapan dan pengalaman yang diperlukan untuk jabatan yang lowong itu. Dalam sistem ini dimungkinkan penerimaan orang luar. Kedua adalah sistem karir tertutup, artinya bahwa jabatan yang lowong dalam suatu organisasi hanya dapat diduduki oleh pegawai yang telah ada dalam organisasi itu, tidak boleh diduduki oleh orang luar. Dalam hal ini, untuk pengisian lowongan jabatan hanyalah dicari dari orang yang sudah berada dalam organisasi yang bersangkutan. Sedangkan yang ketiga adalah perpaduan dari ketiga hal diatas. Pengembangan tertutup dalam arti negara yang konsekuensinya terbuka bagi organisasi atau departemen.
Selain sistem karir tersebut diatas, dalam pengembangan karir dikenal pula sistem prestasi kerja, yaitu suatu sistem kepegawaian dimana untuk pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan didasarkan oleh kecakapan dan prestasi yang telah dicapai oleh orang yang telah diangkat tersebut. Kecakapan tersebut harus dibuktikan dengan lulus ujian jabatan dan prestasinya itu harus terbukti secara nyata.
Beberapa keuntungan sistem karir antara lain adalah masa kerja, kesetiaan dan pengabdian dihargai secara wajar sehingga pegawai yang menjalankan kewajibannya dan loyalitasnya mendapatkan penghargaan secara layak. Selain itu dalam sistem karir sesorang dapat naik pangkat dan jabatan berdasarkan masa kerja dengan memperhatikan kecakapan, prestasi kerja, dan kesetiaan.
Kerugian sistem karir adalah sulitnya diadakan parameter yang tegas untuk pengangkatan dalam jabatan, dan biasanya masa kerja yang menentukan. Apabila pembinaan kurang baik, maka seolah-olah jabatan cenderung dianggap sebagai hak, sehingga tidak mendorong orang untuk meningkatkan prestasinya.
Keuntungan sistem prestasi kerja adalah adanya ukuran yang jelas yang dapat digunakan untuk memepertimbangkan promosi jabatan seseorang, karena pengangkatan jabatan hanya didasarkan atas kecakapan yang dibuktikan dengan proper test dan prestasi terbukti dengan nyata melalui ukuran-ukuran tertentu. Sistem ini akan mendorong pegawai untuk meningkatkan keahliannya dan prestasi kerjanya.
Sedangkan kerugian sistem prestasi kerja adalah kesetiaan, pengabdian dan masa kerja tidak mendapat penghargaan yang selayaknya, sehingga menimbulkan perasaan tidak puas bagi pegawai yang telah mempunyai masa kerja yang lama. Bagi pegawai yang terampil dalam praktek tetapi kurang dalam bidang teori akan ketinggalan dalam promosi jabatan karena tidak lulus dalam proper test.
Manajemen karir terdiri dari ekplorasi karir karyawan, strategi pencapaian karir, keinginan karyawan berprestasi dalam kegiatan pengembangan dan perilaku pengembangan serta dukungan kesempatan yang diberikan oleh pimpinan perusahaan untuk mencapai karirnya dengan lancar.
Program manajemen karir sebaiknya didasarkan pada pengharapan-pengharapan yang realistis. Program manajemen karir meliputi:
-          Konseling karyawan, melacak pekerjaan, keahlian dan pengembangan karyawan yang relevan.
-          Menawarkan workshop dalam perencanaan karir dan kehidupan.
-          Menekankan penilaian keinerja yang bersifat pengembangan.
-          Mengadakan pusat penilaian.
Aktivitas manajemen karir terfokus pada:
-          Memeberikan perencanaan karir individu
-          Memberikan nasihat untuk membantu individu berpindah secara efektif didalam organisasional.
-          Membentuk berbagai urutan pekerjaan atau jalur karir bagi karyawan.
Tujuan program manajemen karir adalah (Simamora, 1997):
  1. Pengembangan tenaga secara lebih efektif
Individu akan memiliki komitmen yang lebih tinggi terhadap pengembangan yang menjadi bagian dari rencana karir dan lebih memahami tujuan pengembangan karir organisasional.
  1. Kesempatan penilaian diri bagi karyawan untuk memikirkan jalur-jalur karir tradisional atau yang baru.
Beberapa karyawan yang tidak memandang mobilitas tradisional keatas sebagai suatu jalur karir optimal. Perusahaan adapat menawarkan perencanaan karir untuk mebantu mereka mengidentifikasikan jalur karir yang baru dan berbeda.
  1. Pengembangan sumberdaya manusia yang lebih efisien di dalam dan diantara divisi dan atau lokasi geografis.
Apabila progesi tradisional para karyawan telah naik keatas dalam sebuah divisi, maka jalur karir yang memotong lintas divisi dan lokasi geografis dapat dikembangkan.
  1. Memenuhi kebutuhan pengembangan karyawan
Individu-individu yang melihat kebutuhan pengembangan pribadi mereka terpenuhi cenderung lebih puas dengan pekerjaan dan organisasi mereka.
  1. Peningkatan kinerja melalui pengalaman on the job training yang diberikan oleh perpindahan karir vertikal dan horisontal.
Pekerjaan merupakan pengaruh yang paling penting bagi pengembangan karir. Setiap pekerjaan dapat memberikan tantangan dan pengalaman yang berbeda.
  1. Meningkatkan loyalitas dan motivasi karyawan sehingga menurunkan perputaran karyawan.
Individu yan percaya bahwa perusahaan memperhatikan perencanaan karir akan mendorong mereka untuk tetap bersama dengan perusahaan.
Manajemen karir untuk menghadapai masa depan dalam persaingan global membutuhkan 5 syarat, yaitu:
1. Knowledge Based Technical Specify
Pengembangan karir tidak lagi ditentukan oleh organisasi melainkan karyawan bertanggung jawab untuk mengelola sendiri karirnya dan dapat bekerja sama dengan yang lainnya. Manajer dimasa yang akan datang membutuhkan kemampuan dibidang teknologi infromasi karena informasi menjadi mekanisme penting untuk bekerjasama dan memecahkan masalah. Akses terhadap informasi akan meningkatkan kemampuan manajer sehingga organisasi akan tetap berkompetisi dalam bidangnya.
2. Cross Functional and Internasional Experience
Bahwa manajer dimasa akan datang disyaratkan untuk memiliki pengalaman antar fungsi (cross functional experience). Pergeseran organisasi cenderung kearah seluler, dimana membutuhkan seorang manajer yang cakap. Manajer akan memerlukan pemahaman yang mendasar dari berbagai paradigma fungsi dan pendekatan yang multi disiplin dalam pemecahan masalah. Selain itu manajer dituntut mempunyai pengalaman internasional dan multi kultural dalam mengelola bisnis.
3. Colaborate Leadership
Pola kepemimpinan yang dapat bekerjasama dengan baik antar fungsi juga dengan bawahan, terutama bagi struktur organisasi yang berbentuk jaringan dan seluler. Kemampuan untuk berkolaborasi (Partering Skill dan Relationship Management) akan menjadi faktor penting untuk mencapai tujuan organisasi. Unit-uit organisasi utama terdiri dari tim-tim proyek dalam menjalankan tugasnya. Anggota tim terdiri dari anggota permanen dan sementara., sehingga kemampuan individu untuk berintegrasi dengan lingkungan timnya baik sebagai pemimpin maupun anggota akan menjadi kunci penting kesuksesan tim. Individu yang memilih untuk bekerja sebagai seorang profesional yang independen akan mudah berpindah dari satu tugas ke tugas yang lainya dalam suatu proyek. Hal ini membutuhkan multi skill dan menjadikan karir yang fleksibel.
4. Self Management Skill
Pada tingkat organisasi seluler yang lebih maju, hampir tidak terdapat hirarki managerial, dimana individu dapat memajukan diri sendiri. Indvidu-individu akan berinvestasi dalam proses belajar yang terus menerus (continius learnig process) yang dapat membantu dalam mengetahui kesempatan karir dimasa yang akan datang dan mengembangkan cara-cara yang dapat mendatangkan keunggulan bagi individu. Aspek yang dapat juga berhubungan dengan self management process adalah keseimbangan dan harmonisasi antara beban kerja dan kehidupan berkeluarga.
5. Personal Traits
Sifat atau ciri dimana individual akan selalu berperan penting dalam profesionalitas diri. Ini tercermin dari atribut penting yang mencirikan manajer dimasa datang harus memiliki fleksibikitas. Pergeseran yang bersifat birokratik menjadi seluler menjadikan individu memperoleh otonomi yang lebih luas. Individu tidak hanya memfokuskan diri pada suatu spesialisasi atau berfikir tentang satu jalur karir, tetapi menuju pada fleksibilitas yang dapat bergabung dengan berbagai tugas. Hal ini memerlukan kepercayaan yang merupakan hal terpenting untuk bekerjasama.

4.         Jalur Karir
            Jalur karir adalah suatu urutan pekerjaan pada suatu perusahaan yang mungkin dilalui oleh karyawan dalam mencapai sasaran karirnya selama bekerja di perusahaan tersebut. Jalur karir juga dapat dijelaskan sebagai gambaran tujuan urutan-urutan pengalaman kerja oleh seseorang individu didalam sebuah organisasi (Simamora, 1997). Pendapat tersebut serupa dengan yang dikemukakan oleh Werther (1989) yang menjelaskan bahwa jalur karir adalah pola urutan pekerjaan yang membentuk karir seseorang. Walker (1989) mengatakan bahwa “career paths represent logical and possible sequence of position that could be held, based ona an analysis of what people actually do in organization”. Pengertian yang lebih luas dikemukakan oleh Burack yang mengatakan bahwa jalur karir merupakan jalan dari tingkat pertama suatu karir menuju tingkat terakhir, melalui tingkatan-tingkatan pekerjaan, mengembangkan individu, pengalaman belajar, dan promosi. Jalur karir biasanya difokuskan pada mobilitas didalam pekerjaan itu sendiri. Asumsi yang dipergunakan bahwa setiap kemajuan pekerjaan perlu dipersiapkan untuk jabatan selanjutnya. Untuk itu karyawan harus bergerak setahap demi setahap, dari suatu pekerjaan ke jenjang pekerjaan lain untuk mencapai pengalaman atau persiapan yang diperlukan.
Manajer dan spesialis sumber daya manusia harus secara teliti menentukan aktivitas pekerjaan dengan membutuhkan beban pekerjaan, menentukan keahlian dan pengetahunan pribadi yang dibutuhkan bagi pekerjaan, dan mengelompokkan pekerjaan kedalam kelompok dasar atau keluarga-keluarga pekerjaan, dan mengelompokkan pekerjaan kedalam kelompok dasar atau keluarga-keluarga pekerjaan dalam rangka membentuk jalur karir yang realistis sebagai bagian dari penetuan karir yang tepat. Walker (dalam Cascio, 1989) mengatakan bahwa karakteristik jalur karir adalah:
  1. Jalur karir harus mewakili kemungkinan kemajuan riil, baik secara lateral maupun kebawah.
  2. Jalur karir harus merespon perubahan-perubahan ke dalam beban kerja, prioritas kerja, struktur organisasi, dan kebutuhan manajemen.
  3. Jalur karir harus luwes dan mempertimbangkan kualitas individu, manajer, bawahan atau orang lain yang memperngaruhi pelaksanaan kerja.
  4. Jalur karir harus menentukan keahlian, pengetahuan dan atribut spesifik lainnya yang dapat diperoleh untuk melaksanakan pekerjaan pada setiap posisi jalur yang ada.
Data yang dihasilkan riset manajemen sumber daya manusia dibutuhkan untuk menentukan jalur karir yang didasarkan atas analisis pekerjaan perilaku karyawan memberikan dasar yang terdokumentasi dan dapat dipertahankan untuk manajemen karir organisasional yang menjadi referensi yang kuat bagi perencanaan karir individu dan aktivitas pengembangan. Langkah-langkah dalam pembentukkan jalur karir adalah:
  1. Menganalisa pekerjaan-pekerjaan untuk menentukan kesamaan dan perbedaan diantara pekerjaan tersebut.
  2. Mengelompokkan pekerjaan-pekerjaan dengan persyaratan perilaku yang sama kedalam keluarga pekerjaan.
  3. Mengidentifikasikan jalur-jalur karir di dalam dan diantara keluarga pekerjaan.
  4. Mengintegrasikan keseluruhan jaringan jalur karir ke dalam suatu jalur karir tunggal.
Gambar 2.3. Cara Pembantukan Jalur Karir yang Realistis

5.         Program dan Aktivitas untuk membantu Perencanaan Karir Individu    Organisasi menggunakan suatu variasi pendekatan untuk membantu individu merncanakan karir mereka. Suatu usaha pokok organisasional dalam manajemen karir individu adalah perancangan dan implementasi program karir individu. Program ini membantu individu menilai keahlian mereka sendiri, mempelajari kesempatan kerja di dalam dan diluar organisasi, dan menyesuaikan individu dengan pekerjaan yang tersedia. Strategi karir yang efektif dari presektif organisasi meliputi (Simamora, 1997):
1.    Pemberian pilihan karir yang luwes bagi karyawan.
2.    Pemastian bahwa kerja keras akan membuahkan hasil.
3.    Penerjemahan tujuan kedalam suatu rencana tindakan.
4.    Penyediaan peran yang berbeda bagi anggota organisasi.
5.    Penyeimbangan tujuan rencana jangka pendek dan jangka panjang.
6.    Penawaran pendekatan untuk menyelesaikan konflik diantara berbagai dimensi karir.
7.    Pemastian bahwa pengalaman karyawan senior diwariskan kepada karawan junior.
8.    Bantuan kepada individu guna mengurangi atau tahan terhadap ambiguitas.
9.    Pemberi arah dan jalur yang spesifik dan jelas bai anggota organisasional.

Menurut Noe (2000) manajemen karir merupakan proses yang terjadi secara terus menerus dimana membawa dampak kepada karyawan:
-          Menjadi lebih sadar akan minat, nilai, kekuatan dan kelemahan mereka.
-          Memperoleh informasi mengenai kesempatan kerja didalam perusahaan.
-          Mengidentifikasikan tujuan akhir.
-          Membuat rencana untuk meningkatkan jalur karir.

6.         Kesuksesan karir
            Perubahan paradigma pengembangan karir individu dari yang hanya satu jalur menuju jalur karir yang lebih variatif memacu kreaktivitas individu untuk menguasai berbagai keahlian. paradigma lama mengembangkan karir, pada saat pekerja membuat keputusan tentang pekerjaan apa yang ingin didapatkan dan pekerja bisa menjaga pekerjaan itu maka akan dapat menetramkan hidup dan tidak harus memikirkannya kembali. Tetapi paradigma baru, dengan semakin meningkatkannya pilihan atas pekerjaan dan tuntunan perkembangan teknologi, kesuksesan karir individu akan tergantung pada kemampuan untuk melakukan berbagai hal di masa akan datang. Mereka yang hanya bekerja dengan satu keahlian saja yang akan beresiko terhadap pekerjaannya ( Knowell, 1998 ). Dalam kondisi ini, perusahaan harus membantu karyawan memahami aktivitas yang akan menuju pada karir yang sukses dan terus mengembangkan skill karyawan agar tidak mudah tertinggal (Noe,1994). Kegagalan perusahaan dalam mengolola karir berakibat baik perusahaan maupun karyawan. Dari sisi perusahaan, akan berakibat masa kerja yang lebih singkat, tingginya tingkat absensi, dan turnover sehingga sulit mencari seseorang yang cocok untuk menisci posisi yang ada dan dari sisi karyawan, berakibat terhadap prestasi kerja karyawan dan merasa tidak dihargai karyawan.
            Menurut Knowdell (1998), sepuluh aturan baru membangun kemampuan karir untuk sukses di masa yang akan dating, antara lain;
1. Develop your people skill
Dalam menghadapi berbagai perkembangan teknologi, organisasi dituntut untuk terus mengembangkan skill karyawan agar lebih fleksibel dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi. Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi dan komunikasi selalu akan menjadi kebutuhan yang penting untuk beruhubungan dengan tempat kerja. Dalam telecommuting misalnya orang masuk kantor hanya dua atau tiga hari dalam seminggu untuk face to face interaction.
2. Take charge of your career
Aturan pertama ini adalah mempertanggung jawabkan dan mengembangkan karir yang bertujuan agar individu mengerti dan memahami keputusan karir yang berdasarkan pada rencana. Pertanggungjawaban ini merupakan proses yang akan berlanjut terus. Career counselors mencoba untuk memberikan pemahaman bagi karyawan untuk menjaga karirnya.
3. Sharpen your communication skill
Komunikasi yang efektif merupakan kunci utama sukses seseorang dalam meningkatkan karir dengan keahlian komunikasi seseorang menyampaikan ide atau gagasan, kemampuan mempengaruhi yang lain. Meningkatkan karir dengan keahlian komunikasi seseorang menyampaikan ide atau gagasan, kemampuan mempengaruhi yang lain.
4. Discover and adapt to changes
Individu harus sanggup mengenal lingkungan baru dan perkembangan yang akan datang, sehingga dapat menyesuaikan dengan cepat terhadap perubahan internal dan eksternal.
5. Be flexible
Karyawan perlu untuk menjadi flexible untk bekerja dengan baik, apakah secara indepeden, dalam suatu tim maupun dibawah pengawasan.
6. Embrance new technologies
Karyawan harus merespon, meraih dan mengimplementasikan berbagai perkembangan dan teknologi baru.
7. Keep learning
Karyawan harus terus melakukan proses pembelajaran untuk pengingkatan ketrampilan . Tetapi proses pembelajaran tidak hanya sampai disitu saja. Para karyawan yang telah memiliki kemampuan tersebut dan keahlian tertentu juga harus melakukan sharing of knowledge kepada pekerja lainnya (teaching organization)
8. Clear up misconseption
Aturan lain ketika mempertimbangkan suatu tugas baru atau industri adalah untuk menjelaskan kesalahpahaman dan menemukan sesuatu yang benar.
9. Research your option
Karyawan perlu untuk mengamati budaya atau perilaku organisasi dalam menentukan pilihan pekerjaan dan pekerja perlu memahami misi atau nilai-nilai perusahaan melalui intelligence work.
10. Develop new capability
Tuntutan perubahan yang semaki kompleks menuntut karyawan tidak hanya spesialis pada suatu ketrampilan tetapi harus mampu mengembangkan ketrampilan yang fleksibel.
Dalam membedakan kesuksesan karir secara subjektif dapat didefinisikan sebagai perasaan seseorang terhadap prestasi dan kepuasan kariryang diperolehnya. Berdasarkan pada definisi tersbut, kesuksesan karir secara subjektif ditunjukan oleh laporan individu mengenai kepuasan karirnya, yang dilihat dari berbagai segi kemajuan karir, pertumbuhan gaji dan pengembangan professional (Greenhaus, 1990). Berdasarkan hal tersbut, maka kesuksesan karir dapat didefinisikan sebagai tujuan individu terhadap kepuasan karir, dan penilaian subjektif supervisor terhadap karyawan untuk dapat dipromosikan.

7.         Faktor Budaya Organisasi terhadap manajemen Karir
Pada dasarnya faktor-faktor situasional dalam organisasi yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan karir. Faktor-faktor situasional menurut Robbins (1994:50) menyebutkan antara lain: sebuah krisis yang dramatis, adanya pergantian kepemimpinan yang menerapkan nilai-nilai baru, umur organisasi yang bersangkutan, tahap dana ulang, ukuran organisasi, bersangkutan, ukuran organisasi, kekuatan dari budaya yang berlaku serta tidak ada sub budaya.
Budaya organisasi yang kuat akan dipengaruhi pada tingkat manajemen, yang akan menggerakan organisasi kearah yang baru. Ditempat-tempat yang subbudayanya kuat, penggunaan rotasi pekerjaan yang eksternal akan membantu untuk mengubah budaya tersebut. Reorganisasi jika dikombinasikan dengan penggantian atau pemindahan orang-orang pada posisi penting dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dalam perubahan organisasi. Pengelolaan manajemen perlu mengganti proses seleksi dan sosialisasi serta sistem evakuasi dan imbalan untuk membantu para pegawai yang mendukung nilai-nilai baru. Dalam kompetisi global dan perubahan-perubahan kondisi ekonomi menyebabkan banyak organisasi dari bermacam-macam ukuran dan budaya melakukan langkah restrukturisasi. Perubahan-perubahan ini berarti bahwa organisasi dewasa ini mesti mengetahui cara terbaik untuk mendayakan karyawan-karyawan pada semua jenjang karir dalam organisasi.
Schein (1997:31) menyimpulkan bahwa seorang pegawai untuk menjadi pemimpin yang akan datang harus memiliki presepsi pembelajaran. Presepsi itu memerlukan:
1.         Tingkat presepsi yang baru dan realitas dalam dunia nyata terhadap dirinya sendiri.
2.         Tingkat extraordionary motivasi untuk menanggapi belajar dan perubahan.
3.         Penekanan emosi untuk membawa dirinya dan rekan kerja lainnya untuk belajar dan berubah menjdai lebih baik.
4.         Keahlian baru untuk menganalisa dan merubah asumsi budaya.
5.         Perasaan memiliki dan kemampuan untuk menginvolve terhadap partisipasi yang bersangkutan.
6.         Kemampuan untuk belajar terhadap asumsi budaya organisasi.



8.         Konsep Pengembangan Karir Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia
Untuk mengetahui lebih jauh hubungan antara budaya organisasi dan pengembangan karir, maka terlebih dahulu diuraikan kembali pengertian karir. Menurut Prasetyo (1997 : 156) bahwa pengertian karir adalah perjalanan seseorang pegawai didalam organisasi. Arti perjalanan ini dimulai sejak seseorang diterima menjadi seorang pegawai sampai berakhirnya pada saat pegawai tersebut telah berhenti bekerja dalam organsasi yang bersangkutan. Menurut Simamora bahwa karier adalah urutan-urutan posisi yang diduduki oleh seseorang selama hidupnya (karir objektive). Sedangkan secara subjective adalah perubahan-perubahan nilai, sikap, dan motivasi yang terjadi karena seseorang menjadi semakin tua. Jadi karir adalah merupakan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dan perilaku-perilaku, nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi seseorang selama rentang hidupnya. Selanjutnya Gibson juga mendefinisikan karir sebagai rangkaian dan kumpulan dari pengalaman yang berhubungan dengan kerja dan aktivitas yang dipengaruhi oleh sikap-sikap serta perilaku individu dalam organisasi.

E. PENELITIAN TERDAHULU

1.         Syaiful Mustamin (2002)
            Dalam thesisnya yang berjudul “Orientasi Karir Karyawan Berdasarkan Presepsi atas Pengembangan Karyawan dan Pengembangan Organisasi” mengkaji pengaruh pengembangan karir dan pengembangan karyawan terhadap orientasi karir karyawan.
Dan peneliti tersebut menarik kesimpulan antara lain:
1. Pengembangan karyawan memiliki hubungan kuat dan signifikan terhadap orientasi karir karyawan. Dimana tercapainya keselarasan antara minat, prefensi, keahlian, bakat dan pengalaman dengan kesempatan-kesempatan karir yang secara realistis tersedia sehingga karyawan dapat menentukan tujuan karirnya secara jelas dan fokus untuk mencapai kesuksesan pribadi dalam karirnya.
2. Pengembangan organisasi memiliki hubungan yang kuat dan siginifikan terhadap orientasi karyawan. Manajemen karir yang ditetapkan perusahaan mengkondisikan karyawan merasa bahwa adanya suatu kenaikan karir yang alami dapat mengetahui secara pasti tugas atau pekerjaan apa yang akan dilakukan nanti serta menjadikan mereka lebih siap untuk menduduki jabatan-jabatan yang lebih tinggi. Selain itu hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa orientasi karyawan yang menitikberakan pada penentuan tujuan dan memfokuskan usaha untuk mencapainya merupakan variabel yang penting dari seorang karyawan agra memiliki perilaku pengembangan dan kemauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan. Semakin terfokus tujuan karir karyawan, mereka akan semakin meningkatkan perilaku pengembangan untuk mencapai tujuan mereka, sehingga motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengembagan semakin besar pula. Kesesuaian antara perencanaan karir dan manajemen karir juga disimpulkan sangat berpengaruh terhadap terwujudnya orientasi karyawan.

2.         Veri Dyatmika Adhiraharja
Dalam thesisnya yang berjudul “Pengaruh Kepuasan Karir Terhadap Organisational Citizenship Behavior (OCB) Karyawan Pada Direktorat Sumber Daya Manusia PT. Telkom Indonesia, Tbk” mencoba mengetahui tingkat kepuasan karir karyawan dan kemudian tingkat Organitational Citizenship Behavior (OCB) karyawan dan pada akhirnya mencoba mengetahui pengaruh kepuasan karir Organitational Citizenship Behavior (OCB) karyawan”. Kesimpulan yang didapat dari penelitian tersebut tingkat kepuasan karir karyawan PT. Telkom Indonesia (kantor perusahaan) termasuk dalam kriteria tinggi, demikian juga tingkat Organitational Citizenship Behavior (OCB) karyawan. Pengaruh kepuasan karir terhadap Organitational Citizenship Behavior (OCB) karyawan adalah positif tetapi sangat lemah, karena dalam penelitian tersebut model tidak dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh kepuasan karir terhadap Organitational Citizenship Behavior (OCB) karyawan. Hal ini mungkin saja terjadi karena berdasarkan teori yang ada, munculnya perilaku Organitational Citizenship Behavior (OCB) tidak hanya disebabkan oleh variabel kepuasan karir saja, melainkan dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah budaya perusahaan, komitmen organisasi, keadilan yang diterima oleh karyawan dan juga variabel-variabel lain seperti : personal dan situasional.




F. KERANGKA PIKIR
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisa pengaruh budaya organisasi terhadap pengembangan karir karyawan di PT. PLN (Persero) Sektor Tello. Kemudian peneliti akan mencoba menganalisa hubungan antara pengembangan karir karyawan yang telah dipengaruhi budaya organisasi tersebut dengan motivasi kerja karyawan.
 















Gambar 2.4. Rumusan Masalah


G. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1.         Budaya organisasi mempengaruhi secara signifikan pengembangan karir karyawan PT. PLN (Persero) Sektor Tello.
2.         Faktor universalisme (egaliter) dalam budaya organisasi merupakan faktor yang paling dominan memberi pengaruh terhadap pengembangan karir pegawai.
















BAB III
METODE PENELITIAN

            Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, dimana penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Metode penelitian ini hanya mengumpulkan fakta dan menguraikan secara menyeluruh dan teliti sesuai dengan persoalan yang akan diangkat.
            Menurut Ndhara, penelitian deskriptif memiliki beberapa alternative tujuan, yaitu:
  1. Mendefinisikan dan atau mendeskripsikan suatu variabel yang diteliti,
  2. Mengetahui perbedaan antara suatu variabel dengan variabel lain yang diteliti,
  3. Mengetahui pelaksanaan suatu peraturan/rencana,
  4. Mengetahui fakta tentang teori/konsep/variabel dilkokasi penelitan tertentu.
Karena penelitian ini membahas mengenai teori/konsep budaya organisasi yang mempengaruhi pengembangan karir dan terhadap motivasi kerja, maka metode penelitian deskriptif dipandang sangat tepat untuk digunakan.

A.        Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah karyawan PT. PLN (persero) Sektor Tello yang terletak di Makassar.
B.        Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel
            Populasi atau universe adalah jumlah keseluruhan unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah karyawan-karyawan dalam perusahaan PT. PLN (persero) Sektor Tello yang berada di makassar. Oleh karena dalam penelitian survey populasi biasanya berjumlah besar, maka penelitian ini perlu menentukan jumlah sample terlebih dahulu. Sampel penelitian tersebut pada akhirnya akan dibuat generalisasi, sehingga dapat memberikan gambaran atau karakteristik tersebut.
            Menurut Soeratno & Lincoln (1993) mendefinsikan sampel sebagai bagian yang menjadi objek sesungguhnya dari suatu penelitian dan metodologi untuk memilih dan mengambil individu-individu masuk kedalam sampel yang representative disebut sampling.
            Djarwanto & Subagyo (1993) mendefinisikan sampel sebagai bagian dari populasi yang karakterisitik hendak diselidiki, dan dianggap bisa mewakili keseluruhan populasi (jumlahnya lebih sedikit daripada populasinya). Jadi sampel merupakan sekelompok bagian dari suatu populasi. Semakin besar sampel maka semakin representatiflah sampel dalam mewakili populasi.
            Tahap awal yang dilakukan dalam pengambilan sampel adalah menentukan primary sampling unit, yaitu level orgasnisasi manakah yang dijadikan unit sampel. Penentuan primary sampling unit ditujukan untuk menentukan level organisasi yang tepat untuk digunakan sebagai objek penelitian ini yakni karyawan operasional suatu perusahaan, karena karyawan tersebut berhubungan langsung dengan konsumen atau pelanggan, penilaian kinerja lebih jelas, demikian juga beban kerja.
            Dalam penelitian ini responden yang akan dijadikan sampel adalah karyawan operasional dan manajer lini I yang telah memiliki masa kerja paling sedikti 5 tahun. Selain itu, penelitian ini tidak memfokuskan kepada karyawan dalam suatu kelompok atau departemen. Alasan dipilihnya level ini karena jika dibandingkan dengan level menegah dan atas, penilaian kerja lebih kuat ditentukan bagai mana mereka melaksanakan menyelesaikan pekerjaan.
            Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Pengambilan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling termasuk dalam kategori non propability sampling. Metode ini dipilih dengan pertimbangan adanya keterbatasan waktu, tenaga dan biaya penelitian. non propability sampling merupakan teknik pengambilan sampling berdasarkan pertimbangann pribadi peneliti, sehingga probabilitas dari masing-masing anggota populasi untuk dipilih tidak diketahui. Purposive sampling ini dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih betul oleh peneliti menurut ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh sampel tersebut, yakni para karyawan PT.PLN (persero) Sektor Tello yang meduduki posisi sebagai manajer lini I dan karyawan operasional. Jabatan strukturalnya adalah Kabag dan Kasie.
            Manajer lini I yang dijadikan responden adalah yang meiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1. Memiliki tingkat pendidikan minimal sekolah menengah.
2. Memiliki masa kerja 4 tahun atau lebih.
3. Mempunyai bawahan minimal 3 orang.
4. Memahami betul hal-hal yang ditanyakan dalam kuesioner
            Karyawan operasional yang akan dijadikan responden adalah yang memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1. Memiliki masa kerja 4 tahun atau lebih.
2. Memahami betul hal-hal yang ditanyakan dalam kuesioner.
            Kemudian setelah dilakukan konfrimasi dengan kepala seksi Sumber Daya Manusia PT. PLN (persero) Sektor Tello, syarat-syarat sampel seperti dikemukakan diatas dapat terpenuhi.
Menurut Arikuntor (2002: 107) mengemukakan bahwa apabila subjek kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua, sehingga penelitian merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika bubjeknya besar, dapat diambil antara 10% - 15% atau 20%- 25%. Sehingga penentuan jumlah sampel dapat dirumuskan sebagai berikut:
S =      15%    +          1000 - n         (50%-15%)
                                    1000 - 100
Dimana S = Jumlah sampel yang diambil
n = Jumlah anggota populasi
S =      15%    +          1000 - 154     (50%-15%)
                                    1000 – 100
S =  15% + 35,93 %
S = 50,93 %

Jadi jumlah sampel sebesar 154 x 50,93% = 78,4 orang ~ 79 orang. Maka pedalam penelitian ini jumlah sampel yang akan diambil sebanyak 79 orang.

C.        Jenis dan Sumber Data Penelitian
a. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden atau perusahaan sebagai objek penelitian yang sangat dibutuhkan dalam penelitian ini. Data primer yang dibutuhkan adalah identitas responden, jenis kelamin, masa kerja karyawan, umur responden dan jabatan responden saat ini.
b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari literature-literatur maupun sumber bacaan lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan memberikan gambaran secara umum bagi penelitian. Data Sekunder yang dibutuhkan seperti gambaran perusahaan, gambaran keadaan kantor, gambaran umum karyawan, gambaran umum metode pengembangan karir, penelitian-penelitian sebelumnya, dan landasan teori yang berkaitan dengan metode penelitian.

D.        Metode Pengumpulan Data
            Untuk dapat mencapai tujuan penelitian dan untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis yang telah diajukan dalam penelitian ini, maka akan digunakan dua teknik pengumpulan data. Adapun teknik-teknik tersebut adalah:
            a. Studi Pustaka
            Studi terutama sekali diarahkan untuk memperoleh landasan teori yang akan digunakan dan dipakai untuk menganalisis hasil pengelolaan data penelitian. Studi pustaka ini juga dilakukan untuk memperoleh data sekunder dari penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang dimaksud untuk digunakan didalam analisis kasus. Dasar-dasar teoritis ini diperoleh dengan literatur-literatur, majalah-majalah ilmiah maupun tulisan lainnya yang banyak relevansinya dengan masalah yang diteliti.
b. Studi Lapangan
            Studi ini dilakukan secara langsung kelapangan untuk mengadakan pengamatan dan pengambilan data terhadap objek penelitian. Data yang diperoleh dari lapangan pada dasarnya mengunakan teknik-teknik sebagai berikut:
- Wawancara (interview)
Wawancara merupakan cara pengumpulan data dengan Tanya jawab sepihak, yang dikerjakan berlandaskan kepada tujuan penelitian. Wawancara ini dilakukan dengan cara bertanya atau berkomunikasi secara langsung terhadap responden. Wawancara ini dilakukan terhadap kepala departemen pengembangan sumber daya manusia untuk memperoleh data mengenai sumber daya manusia untuk memperoleh data mengenai sumber daya manusia PT.PLN (persero) Sektor Tello Makassar. Wawancara ini juga dilakukan terhadap berbagai pihak yang berhubungan langsung dengan penelitian ini.
- Kuesioner (questioner)
Kuesioner merupakan cara pengumpulan data dengan memberikan daftar pertanyaan kepada responden yang fungsinya adalah menggali informasi dari mereka, terutama informasi yang sifatnya berupa sikap. Dalam penelitian ini, kuesioner merupakan teknik yang paling banyak memberikan data. Kuesioner yang dapat digunakan memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Berapa butir pertanyaan.
b. Alternatif jawaban disusun dalam sistem tertutup.
c. Pengukuran langsung terstruktur.

E.        Teknik Analisis Data
Jumlah seluruh pertanyaan yang ada pada kuesioner ini adalah 36 buah pertanyaan. Kemudian untuk mengkuantifikasi keterangan yang sifatnya non fisik tersebut, agar lebih mudah dianalisis maka dipakai cara methode of summated ratings (Analisa Likert). Pada analisa likert ini, butir-butir daftar pertanyaan dibuat dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan pilihan ganda, dimana setiap butir pertanyaan berisi 5 jawaban. Nilai jawaban yang diberikan memakai sistem skor dengan skala 5, dimana jawaban pertanyaan dibuat bertingkat dalam 5 kategori yang berkisar antara sangat sesuai atau sangat favorable sampai sangat tidak sesuai atau sangat unfavorable. Untuk butir-butir yang sangat sesuai akan mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari pada butir-butir yang sangat tidak sesuai. Adapun keuntungan skala ini adalah tidak menyita waktu dari responden terlalu banyak dalam memberikan jawaban dan pengolaan data lebih sederhana.

1.         Uji Validity Dan Reability Data
Data (kuesioner) awal yang disebarkan kepada 79 karyawan akan dianalisis dengan menggunakan prokram SPSS 13.0 (Stastic Package for Social Studies). Uji coba (kuesioner test) terhadap data penyebab/sumber motivasi kerja karyawan menggunakan alat analisis data Koefisien Alpha (Cronbach Alpha Coefisient) yaitu pengukuran validitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan pendekatan Internal Consistences, yaitu mengkorelasikan nilai tiap butir dengan butir totalnya. Untuk melihat tingkat keterandalan/realibitiy pada butir-butir kuesiner yang valid. Sedangkan teknik yang digunakan untuk korelasi adalah Product moment. Taraf signifikan yang akan digunakan dalam ujian validitas dan reliabilitas adalah sebesar 5% (lima persen).
Langkah selanjutnya setelah uji validitas adalah uni reabilitas. Pengujian ini pelu dilakukan untuk mengetahuhi sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Ralibilitas adalah suatu analisis yang menunjukkan tingkat kemantapan dan ketepatan suatu alat ukur dalam arti apakah ukuran yang diperoleh merupakan ukuran yang benar dari sesuatu yang diukur. Tujuannya untuk mengetahui sejauh mana pengukuran dapat memberikan hasil yang konsisten bila dilakukan pengukuran kembali terhadap objek atau responden.

2.         Metode Analisis
- Pembuktian Hipotesis
Pembuktian hipotesis ini bisa dilakukan dengan pengujian signifikansi untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang kita gunakan berpengaruh atau tidak sehingga hipotesis yang kita miliki bisa diterima atau tidak dan mengandung ketepatan model untuk meramal kejadian dimasa yang akan datang. Pegujian ini dilakukan dengan uji t (siginfikansi masing-masing variabel indepeden terhadap dependen variabel) dan uji f (signifikansi variabel independen secara keseluruhan terhadap dependen variabel).
Dalam pembuktian hipotesis ini, diperhunakan Ho (Hipotesis nol) dan sebagai pembanding dipergunakan Ha (Hipotesis Alternatif) untuk masing-masing hipothesa yang sudah ada.
-          Analisis Regresi
            Metode regresi bermanfaat untuk mengidentifikasi dan menjelaskan variabel independen yang signifikan terhadap variabel dependen dan untuk menentukan ketepatan prediksi apakah ada pengaruh atau hubungan yang kuat antara variabel indepeden dan dependen varabel. Selain itu analisa ini mudah dimengerti dan dapat digunakan dalam berbagai situasi yang berbeda.
Persamaan regresi yang akan diperoleh untuk menggambarkan hubungan budaya organisasi terhadap pengembangan karir adalah:
Z=a0+a1X1+a2X2+a3X3+a4X4+a5X5+a6X6+a7X7+ei
Keterangan :
Z          = Variable pengembangan karir karyawan;
1,2,3,4,5,6,7 = Kofisien regresi
X1        = Keterkaitan lingkungan organisasi
X2        = Hakikat realitas dan kebenaran
X3        = Hakikat sifat individu dalam organisasi
X4        = Hakikat kegiatan anggota organisasi (Pandangan anggota organisasi terhadap kaidah linguistik)
X5        = Hubungan antara anggota organisasi
X6        = Hakikat waktu (orientasi dasar waktu tiap anggota)
X7        = Hakikat ruang (Pandangan anggota organisasi mengenai konsep ruang.

            Alasan digunakannya metode analisis regresi adalah teknik analisis ini dapat memberikan jawaban mengenai besar pengaruh variable bebas (Budaya Organisasi) terhadap variable tidak bebas/terikat (Pengembangan Karir).

F.         Definisi Operasional Variabel
Setiap indikator pengaruh budaya organisasi akan dibahas kaitannya dengan pengembangan karir. Dan bagaimana pengembangan karir tersebut berhubungan dengan kinerja karyawan. Sehingga dasar penelitian ini dirancang untuk meneliti pengaruh budaya organisasi terhadap pengembangan karir serta hubungannya terhadap motivasi kerja. Hasil penelitian ini hanya mencerminkan keadaan di PT. PLN (persero) Wilayah Sulselrabar Sektor Tello, Makassar.
  • Budaya Organisasi merupakan suatu perangkat nilai yang dianut bersama dan bersifat dominan dan koheren yang terungkap dalam bentuk simbolik, seperti cerita, mitos, legenda, slogan, lelucon dan dogeng. Budaya organisasi merupakan pola dari asumsi dasar bentukkan, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok dalam proses mengatasi masalah-masalah external dan internal, artinya bahwa persoalan-persoalan adaptasi dan survival bersifat external sedangkan persoalan-persoalan organisasi bersifat internal.
Variabel ini diukur melalui indikator-indikator yang berkaitan dengan budaya kerja dan budaya organisasi yaitu meliputi: dukungan manajemen, hubungan antar karyawan, pola-pola komunikasi, hubungan pimpinan dan karyawan, arah integrasi, cara mengatasi permasalahan, dan toleransi terhadap konflik.

  • Pengembangan karir merupakan pendekatan formal dan terus menerus yang dilakukan organsasi untuk menjamin orang-orang dalam organisasi mempunyai kualifikasi dan kemampuan serta pengalaman yang cocok ketika dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk mencapai keseimbangan yang berkelanjutan antara kebutuhan karir individu dan kebutuhan tenaga kerja organisasi.
  1. Perencanaan karir adalah proses yang dilakukan seseorang untuk menjadi lebih sadar akan kemampuan-kemampuan, nilai-nilai, peluang, peluang, pilihan-pilihan dan konsekuensi-konsukuensinya.
  2. Manajemen karir adalah proses terus menerus yang dilakukan oleh perusahaan dalam menyiapkan, mengimplementasikan dan memonitor rencana-rencana karir yang dilakukan individu sendiri atau yang berkaitan dengan system karir perusahaan.
Variabel ini diukur melalui indikator-indikator yang dapat digunakan sebagai alat analisis dan dijadikan pedoman parameter untuk mengukur pengaruh budaya terhadap pengembangan karir. Parameter tersebut adalah materi- materi yang terkait dengan manajemen karir dan perencanaan karir.










BAB IV
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
            Lokasi penelitian perusahaan dilakukan dikota Makassar, sedangkan penelitian terhadap karyawan dilakukan di kota Kendari dan Kota Bau-bau. Gambaran secara umum lokasi perusahaan meliputi kondisi geografis, kondisi demografi dan perekonomian Makassar.

1.         Kondisi Geografis
            Kota Makassar sebagai ibukota propinsi Sulawesi Selatan dengan luas 175,77 km2 terdiri dari 14 kecamatan dan 143 kelurahan dengan jumlah penduduk lebih kurang 1,3 juta jiwa yang terletak dipesisir pantai barat Propinsi Sulawesi Selatan.

2.         Kondisi Demografis
            Kota Makassar dihuni oleh 4 suku bangsa yang merupakan mayoritas dari penduduk kota Makassar yaitu : Bugis, Makassar, Mandar dan Tanah Toraja. Selain itu juga terdapat suku Jawa, Arab, Melayu dan suku lainnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Makassar tahun 2005 komposisi berdasarkan jenis kelamin di kota Makassar adalah pria 645.885 jiwa sedangkan wanita 601.756 jiwa.


3.         Kondisi Ekonomi
            Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah perkembangan atau pertumbuhan perusahaan dan jumlah investasi yang ditanamkan didaerah tersebut yang sangat bergantung besarnya peluang investasi yang ditawarkan oleh daerah tersebut.
            Peluang investasi yang ditawarkan oleh kota Makassar diantaranya adalah:
1. Sektor Industri
-          Industri pengelolaan Biji Coklat
-          Industri pengelolaan Biji Coklat
-          Industri pengelolaan Rumput Laut
-          Industri Rotan
-          Industri Pengelolaan Beras
-          Industri Plastik
-          Industri Pengelolaan Kayu
-          Industri Kemasan Karton
-          Industri Pengelolaan Buah-Buahan
-          Industri Cold Storage
-          Industri Pengawetan Kulit
-          Industri Kapal
-          Industri Besi Baja.

2. Sektor Perhubungan
-          Angkutan Taxi
-          Angkutan Bus Kota
-          Perubungan Laut
-          Pengembangan Pelabuhan Laut Makassar
-          Perhubungan Udara

3. Sektor Pariwisata
-          Kawasan Wisata Tanjung Bunga
-          Kawasan Wisata Pantai Losari
-          Kawasan Pantai Barombong
-          Pulau-pulau disekitar Makassar



B. Sejarah Perkembangan Perusahaan

1.         Sejarah Berdirinya PT. PLN (Persero)
Sejarah berdirinya perusahaan diawali dengan sejarah kelistrikan di Indonesia. Dimulai pada akhir abad ke 19, pada saat beberapa perusahaan Belanda antara lain pabrik gula dan pabrik teh mendirikan pembangkit listrik untuk keperluan sendiri. Pada tahun 1893 pemerintah Belanda telah mendirikan perusahaan listrik yang bernama Electriciteit Bedrijct Batavia di Batavia, lalu di Surabaya, Medan, Palembang, Makassar dan Ambon, serta perusahaan penyedia Tenaga Listrik Daerah Otonom (Gemente) maupun swasta, dan milik patungan antara pemerintah dan swasta.
Kelistrikan untuk kemanfaatan umum mulai ada pada saat perusahaan swasta Belanda yaitu NV. NIGM yang semula bergerak di bidang gas memperluas usahanya di bidang listrik untuk umum. Tahun 1913 perusahaan-perusahaan listrik di daerah mulai dialihkan pada perusahaan listrik swasta yang ada di Indonesia. Selain NV. NIGM di Batavia, NV.ANIEM, NV.CEBCO, perusahaan listrik ELECTRA, OGEM, EMR di Rembang dan EMB di Banyumas.
Pada tahun 1927 pemerintah Belanda membentuk SILANDS WATERKRACIT BEDRUVEN (LWB) yaitu perusahaan listrik negara yang mengelola PLTA Lamajan, PLTA Bengkok Dago, PLTA Plengan, PLTA Ubruk, dan PLTA Kracak di Jawa Barat, PLTA Giringan di Madiun, PLTA Tes di Bengkulu, PLTA Tonsea lama di Sulawesi Utara dan PLTU di Jakarta. Selain itu dibentuk perusahaan-perusahaan di beberapa Kotapraja. Dengan menyerahnya pemerintah Belanda kepada Jepang dalam Perang Dunia II maka Indonesia dikuasai Jepang, oleh karena itu semua perusahaan listrik dan gas yang ada diambil alih beserta semua personilnya. Dengan jatuhnya Jepang ke tangan Sekutu dan diproklamirkannya kemerdekaan 17 Agustus 1945, maka kesempatan baik ini dimanfaatkan oleh pemuda dan buruh listrik dan gas untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan yang dikuasai Jepang. Setelah berhasil merebut perusahaan listrik dari tangan Jepang kemudian pada bulan September 1945 delegasi dari buruh/pegawai listrik yang diketuai oleh Kobarsih menghadap pimpinan KNI pusat yang waktu itu diketuai oleh Mr. Kasman Singodimejo untuk melaporkan hasil perjuangan mereka. Selanjutnya delegasi Kobarsih bersama-sama pimpinan KNI pusat menghadap presiden Soekarno. Presiden Republik Indonesia menyambut dan menerima penyerahan Perusahaan Listrik dan Gas tersebut, yang lalu disebut JAWATAN LISTRIK DAN GAS dengan Penetapan Pemerintah No. 1 tahun 1945. Kemudian sejak tanggal 27 Oktober 1945, Jawatan Listrik dan Gas ditetapkan masuk dalam Departemen Pekerjaan Umum. Mulai saat itu, penyediaan tenaga listrik nasional seluruh Indonesia berada di tangan pemerintah Republik Indonesia. Tanggal 27 Oktober yang mempunyai nilai historis dan formal sebagai mulainya pengelolaan ketenagalistrikan secara nasional di Indonesia, diperingati untuk pertama kalinya tanggal 27 Oktober tahun 1946 bertempat di Gedung PBKNIP Jl. Malioboro Yogyakarta. Dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga No.20 tahun 1960 tanggal 19 Oktober 1960, maka ditetapkan untuk seterusnya tanggal 27 Oktober diperingati sebagai hari Listrik dan Gas. Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947 dan Agresi Militer Belanda tanggal 18 Oktober 1948 mengakibatkan Jawatan Listrik dikuasai kembali oleh perusahaan-perusahaan Belanda kembali, seperti ANIEM, OGEM, GEBEO. Perusahaan-perusahaan listrik swasta Belanda dinasionalisasi atas dasar habisnya masa konsensi. Kemudian tahun 1954 adalah nasionalisasi N.V. ANIEM dan N.V. OGEM untuk dibentuk Penuditel dibawah Direksi Distribusi Penupetel. Keduanya dibawah Direktorat Jendral Ketenagaan Departemen Pekerjaan Umum. Lalu tahun 1957, nasionalisasi perusahan-perusahaan listrik lainnya di Indonesia. Kemudian dibentuk juga Dewan Direksi yang beranggotakan Direktur Penuditel, Direktur Penupetel, Direktur eks GEBEO, Direktur eks ANIEM, dan Sekretaris Jendral Pekerjaan Umum dan Tenaga sebagai ketua Dewan Direksi
Pada tanggal 20 Mei 1961, dibentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPUPLN) berdasarkan surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga No.16/I/20, dengan struktur organisasi 14 Kesatuan Wilayah yang membawahi Cabang termasuk 1 Wilayah Pembangkitan. Namun pada tahun 1965 BPUPLN dibekukan berdasarkan  Peraturan  Menteri  Pekerjaan  Umum  dan  Tenaga No.1/PRT/65. BPUPLN dibekukan, tahun 1965 dibentuklan PLN sebagai perusahaan milik negara berdasarkan Peraturan Menteri No. 19 tahun 1965.
Pada tahun 1973 PLN diubah statusnya menjadi Perusahaan Listrik untuk Umum (Perum) berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik No.1/PRT/73 dan diubah anggaran dasar, khususnya mengenai status, hak dan wewenang, serta tanggungjawabnya. Oleh karena itu tanggal 31 Agustus 1992, melalui Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.134.K/43/m.pe/1992 tentang hari Listrik Nasional, tanggal 27 Oktober ditetapkan kembali untuk diperingati, yaitu bahwa penetapan Hari Listrik Nasional adalah dalam rangka usaha untuk meningkatkan idealisme, motivasi dan semangat kerja, memupuk jiwa, karsa, serta rasa persatuan dan kesatuan di kalangan masyarakat kelistrikan.
Tahun 1994 pemerintah mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no.23 tahun 1994 yang menetapkan peralihan perum.Listrik Negara menjadi suatu perusahaan yang berdiri sendiri dan bekerja sama dengan pemerintah berstatus PT. PLN (Persero).

2.         PT. PLN (PERSERO) SEKTOR TELLO
PT. PLN (Persero) wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dibentuk dengan membawahi Sektor Pembangkit, Cabang (Distribusi), APD (Penyaluran) dan AP2B (pengatur beban). Sektor Tello merupakan salah satu unit yang berada dalam naungan PT. PLN (Persero) Wilayah Sulselra. Sebelum mempunyai nama Sektor Tello unit ini diberi nama Unit Pembangkitan I. Sektor Tello membawahi semua pembangkitan tenaga listrik tenaga Diesel yang berada di Sulawesi Tenggara dan juga beberapa unit pembangkit lain (PLTU dan PLTG) yang berada pada Sulawesi Selatan. Unit-unit pembangkitan yang berada dibawah PT. PLN (Persero) Sektor Tello adalah sebagai berikut:
    1. Unit PLTD Tello
    2. Unit PLTU Tello
    3. Unit PLTG Tello
    4. Unit PLTD Kendari
    5. Unit PLTD Baubau

Struktur organisasi pada PT. PLN (Persero) Sektor Tello :

Gambar 4.1. Struktur Organisasi PT.PLN (Sektor Tello)

3.         Lokasi PT. PLN (Persero) Sektor Tello
PT. PLN (Persero) Sektor Tello berada di wilayah pinggiran kota Makassar Sulawesi Selatan. Posisi PT. PLN (Persero) Sektor Tello berada sekitar 30 menit dari bandara udara Hassanudin dan tepat dipinggir jalan poros perintis kemerdekaan.
             




Tidak ada komentar:

Posting Komentar